TV: Antara Dibenci dan Dicintai

(Dimuat di Harian Suara Pemred, 23 Juni 2016) 

  
Dapat dipastikan hampir setiap rumah dalam sebuah keluarga memiliki televisi (TV) bahkan dalam keluarga tertentu ada yang memilikinya lebih dari satu. Meskipun dengan berbagai alasan, TV sepertinya menjadi kebutuhan primer (utama) yang mesti ada. Dari keberadaan TV dalam sebuah keluarga inilah bisa memunculkan pola pikir, life style hingga berwujud dalam action (aktifitas positif dan negatif). Sudah terbangun konsepsi di masyarakat bahwa TV adalah bagian dari hidupnya. Televisi telah menjadi kebutuhan hidup baik dari sisi informasi, hiburan, sosial maupun secara psikologis.
Dari sisi kebutuhan manusia, sebenarnya ada beberapa alasan teoritis mengapa masyarakat menggunakan media yang satu ini. Mulharnetti Syas dalam Riyanto Rasyid (2013: xxxiii) menyebutkan hal yang melandasi publik menggunakan TV yaitu: Kebutuhan kognitif (cognitive needs). Kebutuhan kognitif dimaksudkan sebagai kebutuhan untuk mendapatkan informasi, pengetahuan dan pemahaman. Untuk peran ini, TV menjadi media yang lebih unggul karena ditayangkan dengan audio visual yang menarik. Jika dulu dikenal dengan TV “hitam putih” karena tidak ada warna selain dua warna itu, saat ini TV black white sudah menjadi barang antik. Bahasa yang kira-kira disampaikan adalah “hari ini gini masih TV hitam putih”. Jika sekedar menyebut contoh, berbagai tayangan berita (kabar malam tv one, metro hari ini dan dialog tvri) dan siaran-siaran keagamaan adalah bagian dari cognitive needs ini.
Kebutuhan afektif (affective needs). Dari sisi ini kebutuhan akan TV ini diperlukan untuk memperkuat perasaan estetik, kesenangan dan pengalaman emosional. Adanya TV ini digunakan sebagai sarana atau media dalam rangka mengasah kecerdasan emosional seseorang. Adanya  tayangan Orang Pinggiran, Berbagi Kebaikan dapat dikategorikan dalam aspek ini.
Kebutuhan integrasi personal (personal integrative needs) yaitu kebutuhan untuk meningkatkan kredibilitas, self confidence dan status individual. Dari tontonan yang disaksikan diharapkan memberikan kekuatan individu dan penguatan diri sehingga menumbuhkan rasa percaya diri. Dari sisi ini, diharapkan adanya tayangan inspirasi. Sekedar menyebut contoh, program yang diasuh Mario Teguh dapat digolongkan dalam tayangan yang dapat memenuhi kebutuhan integrasi personal.
Kebutuhan integrasi sosial (social integrative needs) yaitu kebutuhan yang terkait dengan peneguhan kontak dengan keluarga, teman dan berafiliasi dengan kelompok lain. Adanya masyarakat menggunakan media ini dengan alasan tertentu sedikit banyak dapat memperkuat hubungan kekeluargaan.
Kebutuhan pelepasan ketegangan (escapist needs). Kebutuhan ini terkait dengan hasrat ingin melarikan diri dari ketegangan (tuntutan kerja, tuntutan keluarga), membuat emosi lebih rileks dan kebutuhan akan hiburan. Untuk yang terakhir ini, sangat banyak tayangan yang dapat dikategorikan sebagai tayangan hiburan. Namun akan lain substansinya jika dilihat dari sisi apakah tayangan hiburan tersebut terdapat unsur kekerasan, pornografi atau tayangan edukatif.

Hypodermic Needly Theory
Mengamati tayangan di TV berkisar hal-hal yang negatif (kekerasan, sex dan mistis), untuk siaran TV di negeri ini, bukanlah sesuatu yang sulit untuk ditemukan. Sepertinya tidak ada sesuatu yang menarik jika tidak ada ketiga hal tersebut dalam tayangannya ataupun salah satu dari ketiganya. Tontonan kekerasan (tawuran, penghakiman oleh massa), sex (tayangan yang mengumbar nafsu syahwat, adegan ranjang) dan mistis (film horor) adalah hal yang paling mudah dan menjadi menu harian (bahkan hitungan jam) ditemukan di siaran TV Indonesia.
Begitu besarkah dampak yang  diakibatkan dari tayangan aktifitas saat ini di TV kita? Setidaknya ada empat hal yang harus disikapi secara serius.
Pertama, desensitisasi kekerasan. Berbagai tayangan (kekerasan misalnya) secara perlahan namun pasti akan menghilangkan rasa  simpati, empati dan rasa sensitif terhadap kekerasan. Akibatnya berita penangkapan maling ayam akan jadi kurang seru kalau tidak disertai liputan tentang bagaimana masyarakat menghakimi maling ayam sampai babak belur. Berita pemerkosaan akan menjadi suguhan biasa kecuali jika dilakukan dengan mutilasi dan sebagainya. Sesuatu yang sering dilihat akan menjadikannya sebagai pemandangan yang biasa. Dari sisi ini, seringnya tayangan kekerasan menyebabkan rasa sensitif terhadap kekerasan akan menjadi hilang. Belum lagi dampak yang ditimbulkan akibat dari tayangan kekerasan tersebut tidak langsung seketika tapi akan mengendap dalam memori pemirsa, apalagi kalau menjadi suguhan anak-anak. Penelitian yang dilakukan oleh Leonard Irwin, seorang dosen psikologi dari Universitas Illinois, AS, menemukan bahwa pada saat anak-anak berusia delapan tahun dan pernah menyaksikan adegan atau tindakan kekerasan melalui TV, ketika mencapai usia dewasa mereka cenderung tidak segan-segan melakukan perbuatan serupa.
Kedua, Fear Effect. Rasa takut yang berlebihan. Yang tadinya takut melihat darah dan kekerasan berubah menjadi sikap acuh karena sering ditayangkan hal serupa. Pembunuhan bukan berita yang tabu, ia akan menjadi berita hangat jika dilakukan oleh seorang anak kepada ibunya, atau seorang ayah yang memutilasi anaknya.
Ketiga, Eikonoklasme. Yaitu menjadikan tayangan TV sebagai ikon  yang harus diikuti setiap perintah dan larangannya. Sejalan dengan gaya hidup (life style) yang hedonisme dan materialistik. Segala yang menggiurkan dan terasa enak satu saat akan menjadi trend. Terlepas dari apakah trend itu mengandung manfaat atau tidak. Berapa banyak orang yang hidup menjadi orang lain, bukan menjadi dirinya sendiri, salah satunya karena tayangan yang disaksikan sungguh menggiurkan.
Keempat, Associative Shifting. Ketika seseorang sedang asyik menonton TV, namun  diselingi dengan iklan (sekilas info, adzan dan sejenisnya) maka hal tersebut akan dianggap sebagai faktor pengganggu dan pemutus cara berpikir penonton. Jika sudah demikian, apa yang diharapkan dari generasi ini.
Dalam ilmu komunikasi dikenal teori hypodermic needly theory atau teori jarum suntik yang menyebutkan bahwa efek media kepada masyarakat adalah bersifat langsung artinya masyarakat langsung terkena pengaruhnya. Media ini bukan lagi menjadi The Second God (Tuhan Kedua) tetapi sudah beralih menjadi The First God (Tuhan Pertama). TV sudah menjadi sesuatu yang “sangat penting” dan menjadi “sebuah prestise” bagi sebagian besar keluarga dan masyarakat kita.
Menyerahkan sepenuhnya selektif program kepada lembaga-lembaga yang menyeleksi siaran-siaran yang ditayangkan sepertinya harus diiringi dengan lembaga sensor yang ada di rumah (keluarga) masing-masing. Bukankah yang lebih banyak mengkonsumsi tayangan di TV adalah keluarga-keluarga sebagaimana yang dikemukakan di awal tulisan ini. Semoga**




Komentar

Postingan Populer