Kenali, Hal yang Tidak Disenangi Kepala Sekolahmu
(Dimuat di Harian Suara Pemred, 29 Juni 2016)
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 28 Tahun 2010
menyebutkan bahwa kepala sekolah/madrasah adalah guru yang diberi tugas
tambahan untuk memimpin sebuah lembaga pendidikan. Tugas memimpin dimaksud
dimulai dari taman kanak-kanak/raudhotul athfal (TK/RA) hingga sekolah menengah
atas/madrasah aliyah (SMA/MA) sederajat.
Dengan tugas tambahan tersebut, maka kewajiban yang melekat padanya
adalah memimpin dan mengelola sekolah/madrasah dalam upaya meningkatkan mutu
pendidikan. Sebagai top leader (pimpinan puncak) dari sebuah sekolah, ia
juga memerankan dirinya sebagai supervisor. Supervisor adalah pihak yang
bertindak untuk mendorong, mengkoordinasi dan membimbing pertumbuhan guru-guru
di sekolah secara berkelanjutan baik secara individual maupun secara kolektif.
Adanya guru-guru yang bermutu juga ikut dipengaruhi oleh suasana sekolah yang
edukatif dan inspiratif dan secara tidak langsung ikut memberi warna dalam
proses pembelajaran. Dan ini artinya juga kepala sekolah bertugas menjalin
komunikasi baik antar warga sekolah, antar sekolah dan orang tua (masyarakat)
dan antar instansi terkait. Dalam menjalin komunikasi multi arah ini, disinilah
diperlukan seni managerial seorang pemimpin dalam hal ini kepala sekolah.
Muhaimin (2011: 4) membedakan antara seorang manajer dan seorang leader.
Manajer lebih kepada pengelolaan sumber daya fisik, yang berupa capital
(modal), human skills (keterampilan-keterampilan manusia), row
material (bahan mentah) dan teknologi. Sementara seorang pemimpin (leader)
lebih menfokuskan pada visi, bagaimana mengajak dan memotivasi stafnya untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Karena itu, seorang leader lebih
menekankan pada pengembangan nilai-nilai, komitmen dan penyerapan aspirasi.
Tidak jarang kita lihat dan saksikan adanya kepala sekolah yang
kehadirannya bukan sebagai terminal terakhir dalam penyelesaian masalah tapi
justru menimbulkan masalah baru atau setidaknya ada kebijakan dan keputusan.
Akan nampak mana seorang kepala sekolah yang bertindak sebagai seorang manager
dan seorang leader. Tatkala ia menunjukkan cara kerja dan menej yang baik maka
ia berperan hanya sebagai seorang manager. Tatkala ia memberikan wacana,
penyampaian visi dan misi untuk kemajuan sekolah, mendiskusikan strategi dan
memotivasi warga sekolah untuk target pencapaian maka sosok seorang leader ada
padanya. Namun, walau bagaimanapun dalam hal-hal tertentu, terlepas dari baik
tidak managemen yang ada, seorang kepala sekolah adalah tetap seorang kepala
sekolah dengan sejumlah wewenang yang melekat padanya.
Tulisan ini mengupas beberapa hal yang tidak disenangi oleh kepala
sekolah saat ia menjalankan aktifitasnya sebagai seorang manager dan leader.
Yakni pertama, adanya guru yang miskin ide dan gagasan. Dalam kelompok
guru di sebuah sekolah, tidak jarang kemajuan sekolah justru didapat dari sebuah
diskusi kecil dan sederhana, apalagi kalau di sekolah itu ada tim pengembang
sekolah atau semacam litbang sekolah. Dalam diskusi-diskusi dan perbincangan
sederhana itu justru akan nampak diantara guru yang kaya dengan gagasan, penuh
dengan ide yang visioner atau sebaliknya ada guru yang malah sulit dan tidak
pernah ada ide yang tercetus dari pikirannya. Menurutnya rutinitas pembelajaran
sudah merupakan keharusan dan diterima sebagai proses “selangkah demi
selangkah”. Yakinlah, saat kepala sekolah yang visioner untuk kemajuan
sekolahnya, ketika stimulus telah diberikan ternyata tidak ada respon ide yang
konstruktif ini berarti guru tersebut tidak dapat dijadikan sebagai think
tank atau perumus ide kemajuan sekolah. Kalaupun ada posisi, hanya sekedar
diberikan sebagai pemenuhan rutinitas pembelajaran itu tadi. Kedua, jika
yang pertama adalah guru yang miskin ide, maka yang selanjutnya termasuk yang
tidak disenangi oleh kepala sekolah adalah guru yang terlalu banyak ide, sangat
kaya gagasan dan wacana. Dalam diskusi, dapat dipastikan ia adalah pioneer
nya. Orang semacam ini diperlukan sebuah sekolah. Namun sekolah umumnya sebagai
lembaga pendidikan yang memiliki keterbatasan, baik keterbatasan tenaga,
keterbatasan dana dan keterbatasan kompetensi, menyebabkan terlalu banyak ide
juga justru akan membebani sekolah dan kepala sekolah itu sendiri, terlebih jika kepala sekolahnya adalah
person yang tidak terbiasa dengan ide
konstruktif. Untuk orang dengan gaya ini harus mampu menempatkan diri dimana ia
berada, dengan siapa dia berkomunikasi dan apakah sarana dan prasarananya
tersedia sebagaimana mestinya. Ketiga, terlalu banyak alasan. Terlalu
banyak alasan ini dalam konteks ketidakhadiran atau tidak tepat waktu yang
selalu menjadi alasannya. Begitu seringnya terlambat di sekolah untuk memulai
proses pembelajaran sehingga selalu ada alasan. Alasan pertama bisa ban motor
bocor, alasan kedua bisa antar anak, alasan ketiga bisa bangun kesiangan,
alasan keempat bisa ada tetangga musibah dan alasan kesekian kali bisa
macam-macam.
Berbagai alasan yang dikemukakan untuk berdalih keterlambatan jika selalu
terlambat maka akan memberi stigma yang tidak baik kepada guru yang
bersangkutan. Jika dalam batas-batas tertentu, maka kepala sekolah sangat dapat
memaklumi namun jika selalu menjadi langganan keterlambatan tentu punya imej
yang tidak baik dan itu menjadi hal yang tidak disenangi oleh kepala sekolah.
Sebuah ungkapan bijak menyebutkan, jika kita tertib dan baik saat menjadi
yang dipimpin maka itu pertanda kita juga akan menjadi yang demikian saat
menjadi pemimpin. Tetapi yang pasti tidak mudah menjadi pemimpin.**
Komentar
Posting Komentar