NU_Hindari Keserakahan!
RMOL — Keserakahan pangkal kesusahan hidup. Keserakahan seolah-olah menjadi musuh semua agama dan ajaran-ajaran moral lainnya. Keserakahan sebuah kosa kata yang hampir tidak pernah ditemukan konotasi positifnya. Apalagi di dalam Islam, banyak ayat dan hadis mengingatkan kita untuk menjauhi keserakahan, karena sifat ini bukan hanya merusak individu tetapi juga keluarga dan masyarakat. Sikap serakah membiarkan diri meraup harta kekayaan sebanyak-banyaknya, sementara orang lain dibiarkan menjadi penonton. Keserakahan termasuk penyakit sosial karena biasanya pribadi yang serakah bukan hanya rakus tetapi juga pelit, kikir, sombong, angkuh, dan memiliki ambisi berlebihan dan perilaku yang melampaui batas.
Dalam Al-Qur’an ditampilkan sejumlah raja digdaya tetapi tamak yang berujung kehinaan karena serakah. Fir’aun, Tsamud, Namrud, ‘Ad, Abrahah, dan sejumlah tokoh lain merasakan kekecewaan di akhir hayatnya karena keserakahan. Tokoh dan pemimpin dunia kontemporer juga tidak sedikit jumlahnya berakhir dengan kehinaan karena keserakahan.
Para filosof semenjak zaman kuno mencela sikap keserakahan. St. Augustine (354-430) mengidentifikasi tiga jenis keserakahan manusia yaitu keserakahan kekuasaan, keserakahan seksual, dan keserakahan harta benda. Keserakahan yang terakhir menjadi cikal bakal lahir dan berkembangnya sistem kapitalisme. Sebelum kapitalisme lahir, keserakahan manusia terhadap harta benda merupakan perbuatan yang tidak terpuji. Bahasa agama dan bahasa filsafat sampai abad pertengahan masih memandang kapitalisme itu sebagai dosa dan aib yang harus dijauhi.
Milik pribadi di masa lampau bukan sekadar sumber pendapatan tetapi memiliki fungsi sosial dan penggunaannya selalu dibatasi oleh kepentingan-kepentingan sosial dan keperluan negara. Karena itu, menurut sejarahwan R.H. Tawney, sampai abad pertengahan konsep kepemilikan pribadi atas harta tidak begitu popular. Sampai sekarang, di sejumlah etnik dalam sejumlah wilayah kepulauan nusantara kita masih kental dengan istilah kepemilikan kolektif seperti hak-hak adat, tanah ulayat, tanah adat, tanah waqaf, dan sebagainya.
Keserakahan terhadap harta benda sesudah abad pertengahan seakan mendapatkan legitimasi logika dan agama. Nilai-nilai luhur agamapun direaktualisasikan untuk mendukung konsep kapitalisme, sehingga kapitalisme yang dulu dianggap aib kini semakin eksis di dalam opini publik. Lahirnya karya monumental Max Weber “The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism” dianggap memberikan pupuk yang menyuburkan faham kapitalisme. Namun sasaran positif yang dituju buku ini ialah memberikan semangat pembebasan manusia dari belenggu mistisme dan khurafat yang menyelimuti umat beragama saat itu. Weber tidak ingin agama dijadikan dasar untuk meligitimasi keterbelakangan, kemelaratan, dan kepasrahan terhadap nasib.
Ekonomi pasar bebas yang lahir dari cara pandang kapitalisme dianggap sebagai pembunuh berdarah dingin. Tak terhitung jumlah kematian akibat kelaparan yang ditimbulkan oleh sistem ini. Ada yang menyejajarkan ekonomi pasar bebas dengan faham radikalisme yang melahirkan teroris. Para teroris memang kejam membunuh orang tak berdosa tetapi jumlah korbannya konkret dan terukur. Ekonomi pasar bebas korbannya lebih masif dan tak terukur. Energi lebih kuat di balik fenomena pasar bebas ialah semangat untuk memiliki, menguasai, dan memonopoli. Ujung dari pasar bebas tidak lain adalah keserakahan. Jauhi keserakahan!
Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Komentar
Posting Komentar