MEMPERTAHANKAN RAMADHAN

(Ditulis Dalam Perjalanan ARUS BALIK Id FITHRI 10 Juli 2016)

Ramadhan telah berlalu dan saat ini kita tengah berada dibulan Syawal sebagai hari raya umat Islam. Setiap menyambut 1 Syawal pasti akan terasa berbeda karena umat Islam digiring untuk melatih diri, mengendalikan hawa nafsu, dan mengasah lebih intens kepekaan sosial lewat Ramadhan. Madrasah Ramadhan. Sedih atau gembira, senang atau tidak, bulan yang banyak istilah dilekatkan padanya harus dilewati. Ramadhan disebut Syahr ash-Shiyam, karena dibulan ini umat Islam dilatih untuk menahan nafsu yang sebenarnya halal tetapi dilatih untuk dikendalikan. Message atau pesan yang ingin disampaikan adalah jika yang halal sudah terbiasa untuk dikendalikan apatah lagi yang haram. Namun sebaliknya manakala untuk sesuatu yang halal saja kita tidak mampu kendalikan, kita turutkan nafsu konsumtif dan materialistis kita, kita penuhi daftar keinginan duniawi kita, sikap inilah yang dikhawatirkan Rasulullah SAW dengan syuhhun mutho'un. Dalam konteks puasa Ramadhan, dapat kita pertanyakan bagaimana dengan ibadah puasa kita. Apakah kita sadar untuk mengendalikan nafsu kita atau justru kita perturutkan dengan membabi buta. 
Selanjutnya Ramadhan disebut juga dengan Syahr al-Quran, dari istilahnya saja dapat difahami karena al-Quran diturunkan pada malam di bulan Ramadhan. Disinilah, oleh sebagian ulama yang menyebutkan bahwa kemuliaan Ramadhan  dikarenakan al-Quran diturunkan di bulan ini. Moment ini harus menjadi spirit umat Islam untuk  dekat dengan al-Quran. Spirit untuk membuka mata, mendengarkan dan peka sosial terhadap lingkungan, tapi tetap dilandasi dengan filosofis iqra yakni memulai dan memahami dengan menghadirkan Tuhan dalam setiap prosesnya (iqra' bismirobbik).
Ramadhan juga disebut Syahr ash-Shabr, bermakna Ramadhan mendidik pelakunya untuk sabar melaksanakan perintah Allah SWT. Bukankah sabar yang dianjurkan bukan hanya saat ditimpa musibah, tapi juga sabar saat menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.  Nilai sabar dalam didikan Ramadhan termasuk hal yang harus dicapai yang dituntun oleh agama. Sabar untuk menunggu berbuka harus beriringan dengan sabar untuk memulai puasa. Tetapi ujian sesungguhnya adalah saat kita sudah dihadapkan pada saat berbuka. Manakala kita masih mampu mengendalikan sesuatu yang sudah boleh dikonsumsi, itu bermakna kita mampu mempertahankan nilai-nilai Ramadhan.
Pertanyaan besar pasca Ramadhan adalah apakah Ramadhan berhasil mendidik kita atau sesungguhnya kita yang tidak mau dididik oleh Allah SWT lewat Ramadhan? Jika pertanyaan pertama yang diajukan berarti posisi manusia berada pada area pasif,  pasrah dan tidak dinamis, jika hal ini yang menjadi mindset kita berarti kita tidak ada usaha untuk meraih predikat muttaqien sebagaimana tujuan akhir (ultimate goal) puasa itu sendiri. Lain halnya jika kita bertanya dengan pertanyaan yang kedua, jangan-jangan kita yang tidak mau dididik oleh Allah SWT. Berbagai kemurahan Allah SWT, berbagai janji pahala, berbagai bonus Allah SWT telah Allah SWT bentangkan di hadapan kita, Allah SWT sediakan lailatul qadar, Allah SWT lipatgandakan kebaikan. Jika berbagai fasilitas kemudahan telah disediakan ternyata tidak ada perubahan peningkatan iman dan amal shaleh kita dan yang terjadi malah penurunan temperatur iman (la yazid wa yanqush), ini sama juga dengan  kita tidak mau dididik oleh Allah SWT. 
Dikisahkan lewat seorang yang rambutnya acak-acakan, kumisnya panjang, janggutnya tidak rapi dan kotor. Orang-orang disekitarnya merasa risih dengan sikap dan penampilannya. Kemudian seorang diantara warga mendatangi tukang pangkas rambut sambil berujar, "Pak, maukah bapak merapikan orang yang berpenampilan acak-acakan itu?" Jawab tukang pangkas rambut, "Sejak dari dulu ya profesi saya ini dan siap melayani siapapun yang datang untuk minta dirapikan, dicukur dan bersih. Meskipun diluar ramai orang dengan penampilan acak-acakan tapi mereka tidak mau memasuki ruang pangkas rambut ini tentu tidak akan saya layani". Secara lahiriah cerita singkat ini mengajarkan kepada kita bahwa sarana, media dan fasilitas untuk membersihkan diri mudah didapat dan ada dimana-mana selanjutnya tergantung pada keinginan orang-orang yang merasa perlu untuk menggunakan sarana dan media itu. Tukang pangkas rambut di negeri ini tidaklah terlalu sulit untuk ditemui tapi meskipun mudah didapat jika orang-orang disekitarnya tidak mau membersihkan diri, maka jangan salahkan tukang pangkas rambut untuk tidak membuatnya rapi.
Bila kita kaitkan dengan sejauh mana kebutuhan kita kepada Allah SWT, maka berbagai tempat, waktu dan moment telah disediakan-Nya dalam rangka "pembersihan diri", "pencucian diri". Adanya tempat istimewa, waktu-waktu istimewa, bulan-bulan istimewa adalah dalam rangka tazkiyah an-nafs. Sekali lagi Ramadhan, harus disikapi dengan sebuah sikap aktif dalam rangka membersihkan diri.

Sebagai sebuah sekolah atau madrasah, Ramadhan menjadi learning center bagi pelakunya. Aturan makan, minum dan mengendalikan nafsu yang juga hakikatnya aturan kehidupan ini baru akan menjadi bermakna manakala kita dapat  mempertahankan nilai-nilai Ramadhan pada 11 bulan pasca Ramadhan. Jika aktifitas spiritual dilakukan saat masih Ramadhan tentu hal itu menjadi sesuatu yang wajar mengingat lingkungan juga mendukung untuk aktifitas tersebut, tapi jika kita mampu menerapkannya pada 11 bulan pasca Ramadhan, tetap dekat dengan al-Quran, rutin qiyamul lail, bershadaqah layaknya hembusan angin yang bertabur, peka dan peduli dengan kehidupan sekitar. Kita berharap mudah-mudahan itu pertanda puasa kita adalah puasa yang mabrur. Artinya juga kita mampu mempertahankan Ramadhan. SEMOGA.

Komentar

Postingan Populer