MANUSIA WAJIB, MANUSIA SUNNAH DAN MANUSIA HARAM

(Dimuat di Harian Pontianak Post, 25 April 2014) 


Setiap manusia pasti ingin dikenal sebagai orang yang baik. Orang baik dapat diartikan sebagai orang yang mempunyai sopan santun,  orang yang baik dapat diterjemahkan sebagai orang yang sabar, taat dan patuh pada perintah agama. Namun demikian, orang baik sebenarnya belumlah cukup dimaknai sebatas makna seperti di atas, orang yang baik dapat dimaknai secara lebih luas yakni sebagai orang yang bermanfaat, bermanfaat bagi dirinya, orang lain dan lingkungan yang lebih luas. Orang yang baik adalah orang yang mampu mentransfer nilai-nilai ibadah mahdhah (ibadah dalam arti khusus sebagaimana ketentuannya seperti puasa, zakat, haji) kepada nilai-nilai sosial sebagai dampak dari sikap keberagamaannya.
Seseorang yang telah berhaji berarti ia telah siap meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya sebagaimana giat dan uletnya saat ia melaksanakan rukun haji di kota Makkah, demikian juga dapat difahami seseorang yang  telah menunaikan ibadah haji berarti ia menjadi orang yang berinfaq dan mengeluarkan sebagian hartanya karena perjalanan haji yang dilakukannya adalah sebagian mengeluarkan harta yang dimilikinya. Orang yang berpuasa adalah orang yang seharusnya tumbuh simpati dan empati yang terus diasah dan tumbuh terutama pada saat berbuka, ia harus menjadi orang yang peka dengan keadaan lingkungan sosialnya. Demikian juga orang yang mendirikan sholat dengan benar maka seharusnya ia akan memahami makna mentauhidkan Allah dengan sebenar-benarnya, tawadhu dan menjaga lisan dan gerakannya. Mengutamakan pengabdian baru kemudian mengajukan permohonan adalah salah satu makna dari nilai-nilai sholat yang dapat diresapi (Iyya kana'budu wa iyyaka nasta'inu).
Sebagai perenungan kita, Allah SWT dalam QS. Al-Mulk/67:2 menyebutkan: “Yang menjadikan mati dan hidup supaya Dia menguji kami, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun”. Key word ayat ini adalah bahwa hidup (dengan aktifitas) dan mati (sebagai kepastian) adalah untuk menguji siapa di antara kita yang tergolong ahsan 'amala (yang paling baik amalnya). Dalam konteks ini, bukan kata siapa yang paling banyak (kuantitas) amalnya tapi siapa yang paling baik (kualitas). Harta yang banyak tidak akan memberikan dampak positif manakala tidak memberikan manfaat bagi sekelilingnya. Ilmu yang dimiliki dengan gelar titel yang berderet tidak akan memberikan pencerahan jika lisan dan sikapnya tidak membuat sekelilingnya aman dan nyaman. Singkatnya, seorang yang baik adalah yang tidak akan menyakiti orang lain, siapapun dia, baik dengan ucapannya apalagi dengan perbuatannya.
Muhammad Ainun Najib atau yang dikenal dengan Cak Nun (Emha) membagi jenis manusia kepada tiga jenis yaitu manusia wajib, manusia sunnah dan manusia haram (Prayogi R. Saputra, 2012:120).  Manusia wajib adalah manusia yang keberadaannya harus ada di tengah-tengah masyarakat. Keberadaannya sungguh berarti, kepergiannya mengganjilkan dan kedatangannya menggenapkan. Ia mampu memberikan motivasi bahkan inspirasi bagi lingkungannya. Tipe semacam ini dapat kita temukan di masyarakat. Dan ia memiliki nilai plus dan pengaruh bagi sekelilingnya. 
Sementara itu ada juga manusia dengan klasifikasi manusia sunnah. Tipe manusia ini adalah manusia yang lebih baik ada di masyarakat namun jika tidak ada juga tidak apa-apa. Dalam konteks ini, keberadaannya akan menambah ghirah dan semangat untuk terus beraktifitas, namun jika tidak ada, sekelilingnya masih mampu untuk berbuat dan beraktifitas. Sedangkan manusia haram adalah manusia yang berkarakter negatif, keberadaannya di tengah-tengah masyarakat justru akan membuat masalah. Ia adalah bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi (problem solver). Keberadaannya? Justru lebih baik jika ia tidak ada (Wujuduhu ka adamihi). Dan tipe inipun ada di tengah-tengah masyarakat kita.
Apakah dampak pengklasifikasian ini hanya sebatas ini? Ternyata tidak, sederhananya begini, apa yang anda rasakan jika orang tua anda meninggal dan orang-orang di kemudian hari menyayangkan dan sangat berduka cita atas kepergian orang tua anda, yang disebut adalah berbagai kebaikannya, berbagai amal salehnya dan keberadaannya sebagai manusia wajib. Tetapi apa yang terjadi manakala seseorang yang telah meninggal dunia namun yang disebutnya tentangnya adalah keburukan dan ketidakbermaknaan hidupnya.
Termasuk kategori yang manakah kita? Yang pasti siapa yang menabur angin akan menuai badai, dalam bahasa al-Quran, “Barang siapa yang berbuat baik meskipun sebesar biji sawi maka ia akan melihat balasannya dan barang siapa berbuat kejahatan meskipun sebesar  biji sawi maka ia juga akan melihat balasannya”.** (8414)










Komentar

Postingan Populer