GURU MATERIALISTIS
(Dimuat di Pontianak Post, 15 Juli 2016)
Profesi apapun sepertinya tidak akan
pernah lepas dari aktifitas mengajar, siapapun pernah melakukan aktifitas ini,
mengajar dalam arti adanya proses penyampaikan informasi atau pengetahuan (transfer
of knowledge) yang berlangsung secara dua arah. Faktor yang membedakannya
adalah apakah pengajarannya berlangsung secara sistematis, terencana dan untuk
sebuah tujuan atau berlangsung begitu saja.
Mengajarkan ilmu merupakan sebuah kemuliaan,
dan orang yang dapat mengajarkan ilmu dilihat dari urutannya ia berada pada
urutan pertama, dilanjutkan dengan urutan orang kedua yaitu yang menuntut ilmu,
jika kedua aktifitas di atas tidak dapat dipenuhi masih ada kemuliaan lainnya
yakni senang mendengarkan ilmu, jika tidak juga terpenuhi maka yang paling
rendah dan harus ada pada tiap manusia adalah senang bergaul dengan orang yang
mengajarkan ilmu (urutan pertama), suka menemani orang yang menuntut ilmu
(urutan kedua) dan berteman dengan orang yang senang mendengarkan tambahan ilmu
(urutan ketiga). Kategori manusia yang merugi adalah manakala ia tidak masuk
dalam satu diantara kategori itu. Tidak bisa mengajarkan ilmu, tidak senang
menuntut ilmu, tidak menyukai ilmu dan bahkan tidak menyukai semuanya yang
berkaitan dengan tambahan ilmu, jelaslah, kerugian yang menimpanya.
Dalam dunia
pendidikan di Indonesia, ada satu istilah yang cakupannya lebih luas dari
pengajaran yaitu pendidikan. Pendidikan punya makna tidak sekedar transfer
of knowledge saja tapi sudah merambah pada transfer of value
(perubahan nilai) dan transfer of behavior (transfer perubahan tingkah
laku), karenanya orang yang memposisikan diri dan menyatakan diri sebagai
seorang pendidik dalam rangka mentransfer nilai-nilai tidak sekedar bahkan
tidak dapat dibatasi oleh ruangan yang hanya berukuran 6x7 saja, atau setumpuk
buku sebagai pegangan dan kurikulum sebagai acuan. Seorang pendidik sejatinya
memahami bahwa tidak ada anak yang bodoh, yang ada adalah anak yang punya
kompetensi dan kapabilitas yang berbeda. Sejumlah anak dalam satu kelas
mencerminkan sejumlah karakter dan potensi yang akan dikembangkannya. Pada sisi
inilah, kegiatan ekstra kurikuler menjadi penting.
Guru
menjadi faktor yang paling penting dalam proses transformasi nilai-nilai,
kurikulum apapun yang dijadikan acuan, selengkapnya apapun media jika tidak
dikendalikan dan dimediasi oleh guru, maka tujuan institusi dari lembaga itu
sulit untuk tercapai. Menurut Anies Baswedan, seorang guru mesti menguasai dua
konsep dasar yaitu kepengajaran (pedagogi) dan kepemimpinan. Seorang guru harus
mengerti dan dapat mempraktekkan dasar-dasar pedagogi yang efektif. Faham
tentang metode dan strategi, penguasaan kelas, hingga pola pikir yang
konstruktif agar tujuan pendidikan tercapai. Demikian juga dalam hal
kepemimpinan, menjadi hal yang tidak terelakkan bagi seorang guru, saat ia
berkomunikasi di kelas akan nampak sekali jiwa kepemimpinan seorang guru,
adanya job description yang jelas dan pembagian peran yang terarah
menunjukkan guru memainkan peranan yang urgen dalam hal kepemimpinan di kelas.
Munif
Chatib (2014: 56) -seorang konsultan
pendidikan, penulis bestseller Sekolahnya Manusia- mengatakan jika
dilihat dari kemauan guru untuk maju, maka ada tiga jenis guru yaitu guru
robot, guru materialistis dan gurunya manusia.
Jenis guru
yang pertama, guru robot, yakni guru yang bekerja seperti robot. Mereka hanya
masuk kelas, mengajar lalu pulang. Tidak peduli dengan siswa yang lamban
menerima pelajaran, cuek dengan keadaan sekolah, “itu bukan urusan saya
...” adalah beberapa indikasi guru dengan tipe ini. Karena tidak peduli dan
jika bekerja sesuai instruksi tanpa imajinasi dan kreasi, maka jenis guru ini
dikategorikan guru robot.
Jenis kedua
adalah guru materialistis, guru dengan tipe ini menurut Munif Chatib adalah
guru yang mindset nya selalu melakukan perhitungan, mirip dengan
aktifitas jual-beli. Apa yang mereka lakukan adalah dikarenakan apa yang mereka
terima dan harus impas, tidak kurang tidak lebih. Artinya kewajiban baru
akan dilaksanakan –tidak lebih- jika hak telah diterima. Gaya bahasa guru
dengan tipe ini adalah, “Cuma digaji sekian saja, kok mengharapkan saya
total dalam mengajar, jangan harap ya”.
Guru yang
ketiga diistilahkan dengan gurunya manusia, guru yang dimaksud adalah guru yang
punya keyakinan bahwa satu saat apa yang disampaikannya akan memberikan manfaat
bagi anak didiknya di kemudian hari. Guru dengan tipe ini adalah guru yang
memiliki mindset tidak boleh ada kata berhenti untuk belajar, guru harus
tetap belajar, punya kemauan untuk belajar, karena keberhasilan yang diperoleh
pasti berasal dari adanya kemauan, dan kemajuan sekolah salah satunya adalah
karena adanya kemauan guru untuk maju.
Idealnya
adalah guru jenis yang ketiga, bahwa gaji yang diterima adalah sebagai penopang
kebutuhan hidup, namun yakin akan adanya pintu rezeki lain yang akan
menghampirinya dikarenakan kesediaan, kesetiaan bahkan keikhlasan terhadap
profesi ini.
Mengakhiri tulisan ini, sebuah kisah yang
mudah-mudahan menginspirasi pembaca –sebagaimana ditemukan dalam bukunya
Komaruddin Hidayat, Penjara-penjara Kehidupan (2016: 227). Di suatu desa terdapat seorang ustadz yang cukup disegani, ia
terkenal dengan orang yang rajin bershadaqah. Didorong oleh rasa hormat kepada
ustadz tersebut, seorang warga desa mendatangi ustadz untuk memberikan buah
tangan atau hasil palawija berupa singkong, pepaya dan sayur-sayuran. Kepada
ustadz ia berucap, “Ustadz, ini saya bawakan hasil kebun saya, mudah-mudahan
Ustadz sudi menerimanya”, Ustadz itupun terharu dengan kepolosannya sehingga
menggerakkan hatinya untuk membalas kebaikan itu dengan kebaikan pula sambil
mendoakan smeoga hasil panen warga tersebut semakin berlimpah. Kepada warga
desa yang telah menghadiahinya hasil panen, sebagai ucapan terimakasih Ustadz membalas
kebaikannya dengan memberikan seekor kambing yang gemuk, dengan harapan
mudah-mudahan dapat beranak-pinak dan sehat-sehat.
Betapa gembiranya warga tersebut karena dihadiahi seekor kambing,
hal yang di luar dugaannya. Berita kebaikan ustadz ini tersebar hingga sampai
pada salah satu warga lainnya sambil berpikir, kalau saja tetangganya
bershadaqah singkong kepada Ustadz diberi balasan seekor kambing, bagaimana
kalau sekiranya ada orang yang bershadaqah kambing, kemungkinan sapi yang akan
diberi Ustadz. Keesokan harinya datanglah warga tersebut ke rumah Ustadz sambil
membawa seekor kambing, “Semoga ustadz akan membalasnya dengan memberi hadiah
seeokor sapi pada saya,” bisiknya dalam hati. Saat menerima kambing itu, Ustadz
pun berujar, “Terimakasih atas kebaikan hatimu. Sekadar sebagai tanda
terimakasih, ini saya hadiahkan sekeranjang singkong dan pepaya, pasti anak dan
isterimu akan senang”.
Betapa kecewanya warga tersebut, apa yang diharapkannya tidak
sesuai apa yang terjadi dan ia harus membawa pulang sekeranjang singkong dan
pepaya.
Kisah di atas, mengajarkan kepada kita bahwa keikhlasan merupakan
sumber kekuatan dan kebahagiaan hidup. Dengan ikhlas tidak ada caci maki,
dengan ikhlas tidak ada tidak ridho terhadap apapun yang diterima, dengan
ikhlas tidak akan muncul sikap haus pujian dan bentakan hinaan. Semoga**
Komentar
Posting Komentar