DENGAN IMAN, MEMAKNAI HIDUP MENJADI TERARAH

(Memo 17 Juli 2016)



Dalam QS. Asy-Syams/91: 8 dinyatakan: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”. Ayat ini menyatakan sesungguhnya dalam diri manusia terdapat dua potensi yang saling ingin mendominasi, yakni potensi kebaikan dan potensi keburukan. Dikatakan potensi, karena akan tumbuh dan berkembang dan menjadi karakter tergantung pada kondisi yang mewarnainya, lingkungan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi pembentukan proses tersebut. Manakala seseorang berada pada kondisi dan lingkungan yang kondusif, terjaganya iman dan amal, bergaul dengan orang-orang saleh maka kecenderungan yang muncul adalah berkembangnya potensi kebaikan, demikian juga sebaliknya potensi keburukan akan tumbuh dan berkembang jika lingkungannya adalah lingkungan yang tidak terkondisikan dengan nilai-nilai Ilahiyah.
Iman menjadi kata kunci kebermaknaan hidup. Islam mengatakan bahwa hidup manusia ibarat sebuah perniagaan yang berada dalam keadaan merugi, rugi dalam arti hidup tidak punya makna, hidup tidak bermanfaat, hidup tidak punya orientasi dan yang lebih berbahaya adalah karena hidup tidak punya sandaran yang kuat, dan sandaran itu adalah iman.
Surah al-‘Ashr menerangkan hal di atas dengan jelas, dinyatakan bahwa manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian di sini adalah lawan dari keberuntungan. Menurut ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, kerugian dimaksud ada dua kategori yakni kerugian mutlak yaitu orang yang merugi di dunia dan akhirat. Ia luput dari nikmat dan mendapat siksa di neraka jahim. Selanjutnya, kerugian dari sebagian sisi, bukan yang lainnya. Allah SWT memaklumkan bahwa kerugian meliputi setiap manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria yakni iman, beramal sholeh, saling menasehati dalam kebenaran,  dan saling menasehati dalam kesabaran.
Iman menuntut manusia untuk memahami makna hidup, dari mana ia berasal, untuk apa ia hidup dan kemana akhir tujuan perjalanan dari hidup di dunia ini. Al-Quran menggambarkan asal manusia diciptakan dapat ditemukan dalam QS. ali Imran/3: 59 bahwa manusia diciptakan dari tanah. Bahkan tanah tersebut berupa tanah liat yang kering yang berasal dari lumpur hitam yang dibentuk (QS. al-Hijr/15: 28). Bahkan al-Quran menceritakan proses kejadian manusia dengan jelas sebagaimana dalam QS. al-Hajj/22: 5.
Selanjutnya memaknai keberadaan hidup kita, untuk apa kita hidup. Sederhananya, dalam pembuatan suatu benda pasti ada tujuannya. Demikian juga dengan keberadaan manusia.  Firman Allah SWT dalam QS. adz-Dzariyat/51: 56: Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka beribadah kepada-Ku. Ayat ini menurut Muhammad Quraish Shihab dalam bukunya Secercah Cahaya Ilahi, Hidup Bersama al-Quran (2013: 306) menegaskan bahwa segala aktivitas kita hendaknya berkesudahan dan menjadi ibadah kepada-Nya, dalam arti segala aktivitasnya berakhir sebagai ibadah kepada Allah SWT. Menurut beliau, huruf lam (yang dibaca li pada kata liya’budun) mengandung arti “akibat, dampak atau kesudahan”, bukan dalam arti “agar”.
Dengan demikian dapat difahami bahwa kerja atau aktivitas hendaknya diartikan dan diyakini pelakunya tidak semata-mata mengandalkan balasan sekarang di dunia tetapi pandangan dan visinya harus melampaui batas-batas kekinian dan kedisinian yaitu kekal di akhirat. Disinilah –menurut Muhammad Quraish Shihab- sebuah aktifitas baru akan bernilai saleh jika di dalamnya sejak proses hingga penyelesaiannya dilakukan dengan benar, bermanfaat  dan sesuai.
Keyakinan yang terangkum dalam rukun Iman menjadi pijakan untuk memaknai hidup. Namun demikian, keberimanan belumlah dikatakan sempurna jika tidak dilanjutkan dengan amal saleh. Inilah mengapa Allah SWT senantiasa merangkaikan kata amanu dan ‘amilush sholihat. Term amanu (beriman) dan ‘amilush sholihat (beramal saleh) menjadi satu paket yang saling menguatkan. Hidup harus diisi dengan amal saleh. Saleh menurut Muhammad Quraish Shihab diartikan sebagai aktivitas atau kerja “yang sesuai, bermanfaat lagi memenuhi syarat-syarat dan nilai-nilainya”. (2013: 305).
Apakah sebatas itu makna hidup supaya terarah? Ayat selanjutnya dari kategori manusia yang tidak merugi sebagaimana dalam QS. al-‘Ashr/103: 3 adalah saling menasehati dalam kebenaran. Yang dimaksud adalah saling menasehati dalam dua hal yang disebutkan sebelumnya yaitu saling menasehati, memotivasi, dan mendorong untuk beriman dan melakukan amalan sholeh. Berikutnya adalah mereka yang saling menasehati dalam kesabaran yaitu saling menasehati untuk bersabar dalam ketaatan kepada Allah SWT dan menjauhi maksiat, juga sabar dalam menghadapi takdir Allah SWT yang dirasa menyakitkan.


Jika aktivitas dilakukan dengan benar dan sesuai, yang membawa manfaat bagi lingkungan, dan ajakan untuk melakukan kebaikan pada orang lain, mudah-mudahan itu pertanda bahwa iman masih tertanam dan tertancap kuat dalam hati kita dan itu bermakna hidup kita terarah dengan adanya iman.  Mudah-mudahan kita mengakhiri eeisode kehidupan ini dengan happy ending, yang dalam bahasa agama dinamakan husnul khatimah. SEMOGA.**





Komentar

Postingan Populer