NU_Delegitimasi Ulil Amr

RMOL — Salah satu hal yang bisa menimbulkan konflik, bahkan kekacauan massif ialah men­delegitimasi pemerintah (ulil amr). Karena itu, menurut ulama sunni, lebih baik 100 tahun dipimpin pemerintah yang korup ketimbang sehari tanpa pemerintah. Kekoson­gan pemerintahan membuka peluang berlakunya hukum rimba, yang kuat me­mangsa yang lemah dalam waktu singkat.
Kata ulil amr berasal dari kata uli berarti pemilik dan al-amr berarti perintah, tuntunan melakukan sesuatu, atau keadaan urusan. Jadi uli al-amr (baca: ulil amr) berarti pemilik urusan atau pemilik kekuasaan atau hak untuk mem­beri perintah. Yang termasuk Ulil Amr di dalam kitab-kitab tafsir meliputi para pejabat pemerin­tah (umara’/eksekutif), para hakim (yudikatif), para perwakilan tokoh-tokoh masyarakat (leg­islatif), para cerdik-pandai (ulama), dan para pimpinan militer. Dalam konteks sekarang men­cakup kekuatan trias politika: Legislatif, ekse­kutif, dan Yudikatif.
Ulil amr dalam pengertian kontemporer dun­ia Islam ialah para pemimpin eksekutif pemer­intahan. Kalau di Indonesia ialah Presiden atau kepala negara. Penetapan presiden atau kepala negara di dalam wilayah kesatuan hu­kum (wilayah al-hukm) Republik Indonesia ada­lah penting karena menyangkut legitimasi pen­erapan hukum Islam. Keabsahan perkawinan seorang perempuan yang tidak memiliki wali nasab, atau memiliki wali nasab tetapi mer­eka tidak memenuhi syarat untuk mengawinkannya misalnya berlainan agama, belum akil balig, atau ada halangan lain, maka yang ber­hak mengawinkan ialah pejabat pemerintah yang mewakili pihak wali. Jika pemerintah tidak abash maka akan berpengaruh terhadap sah tidaknya perkawinan tersebut. Jika pemerintah tidak diakui sebagai ulil amr maka rusaklah se­mua perkawinan yang dilakukan di bawah otori­tas perwaliannya, dan akibatnya lebih jauh ter­jadi perzinahan massal.
Itulah sebabnya dalam Muktamar NU di Ban­jarmasin tahun 1936, Resolusi Jihad tahun 1945, pengukuhan Kepala Negara Republik Indonesia sebagai waliyyu al-amri ad-dharuri bi as-syaukah (pemegang pemerintahan dlar­uri dengan kekuatan dan kekuasaan), hingga penerimaan Pancasila dan NKRI sebagai tu­juan akhir perjuangan umat Islam, agar insti­tusi hokum Islam dapat diterapkan karenanya. Bayangkan kalau tidak ada ulil amr maka akan sulit para gadis yang tak punya wali untuk me­nikah. Meskipun Indonesia belum merdeka ke­tika itu tetapi sudah dipandang perlu mengada­kan pemerintah sebagai representasi pemimpin umat Islam di Indonesia.
Fungsi lain ulil amr ialah menetapkan hari-hari besar Islam. Penetapan tanggal 1 Rama­dhan untuk meligitimasi keberadaan bulan Ra­madlan dimana umat Islam wajib berpuasa, meligitimasi tanggal 1 Syawal untuk menentu­kan keesokan harinya lebaran, dan tanggal 1 Zulhijjah untuk melegitimasi kapan hari raya Idul Adha, dalam tradisi dunia Islam diperlu­kan legitimasi ulil amr.
Sepanjang sejarah bangsa Indonesia umat selalu mempercayakan penetapan hari-hari be­sar Islam kepada pemerintah sebagai ulil amr. Namun tahun-tahun terakhir ini disayangkan sebagian ormas Islam memutuskan tradisi ini dengan menetapkan sendiri hari-hari besar Is­lam menurut mazhabnya.
Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Komentar

Postingan Populer