MAAF, Kata Kunci ‘Idul Fithri
(Ditulis Tanggal 12 JULI 2016)
Dalam
diri manusia ada dua potensi yang saling berebut posisi, nilai kebaikan atau
kebenaran dan nilai keburukan atau kesalahan. Dua nilai ini senantiasa saling
mendominasi, manakala nilai kebaikan yang mendominasi maka yang unggul dan
kelihatan adalah senyum, saling menghormati, tegur sapa, senang memberi dan
berbagi dan berbagai kebaikan lainnya tapi jika yang muncul adalah nilai keburukan
maka yang kelihatan adalah dengki, iri, serakah dan sejumlah nilai keburukan
lainnya. Sederhananya, pengkategorisasian ini kepada potensi nilai-nilai
Ketuhanan disatu sisi dan nilai-nilai “kebinatangan” disisi lain.
Satu
nilai Ketuhanan atau kebaikan yang menjadi tema dalam setiap moment idul fithri
adalah saling memaafkan. Tatkala kita dipenuhi nuansa kemaafan maka nilai-nilai
Ketuhanan sedang bersemayam di hati kita, bukankah memaafkan adalah salah satu
sifat Allah SWT, al-‘Afwu. Ini juga yang diajarkan Nabi Muhammad SAW
dengan doanya “Ya Allah,
sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan (hamba-Mu), maka
maafkanlah aku”.
Meneladani
al-‘Afwu berarti berlapang dada,
mengisi suasana hati dengan bersedia meminta maaf dan memaafkan. Allah SWT
sangat tahu dengan makhluk-Nya manusia, jika salah dan khilaf menjadi pakaian
manusia maka saling memaafkan adalah solusinya. Bahkan perbuatan maaf ini
menjadi tanda dari orang-orang yang berbuat baik dan orang-orang yang berbuat
disenangi Khaliq, Allah SWT. Perhatikan QS. al-Baqarah/3: 134: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya),
baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan
memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat
kebajikan”.
Ada hal yang menarik di masyarakat kita,
meskipun perlu juga untuk dikaji kembali bahwa begitu sakralnya menyambut 1
syawal, seakan-akan kata maaf atau saling memaafkan terasa tepat saat diucapkan
dikala Syawal tiba, jelas kelihatan sekali masyarakat kita saling memaafkan
disaat itu. Ini juga seakan-akan semua kesalahan akan menjadi zero
kembali kala Syawal tiba. Salahkah? Tentu tidak salah, tetapi bahwa konsep
memaafkan sepenuhnya terjadi hanya pada bulan Syawal harus diperbaiki, tidak
sampai satu pekan, bahkan dalam hitungan haripun kadang kita sudah penuh dengan
kesalahan. Salah dalam ucapan dan tindakan, disengaja atau tidak, apakah dengan
orang tua, dengan suami/isteri, dengan tetangga, dengan kolega dan sebagainya.
Jika harus menunggu pada moment Syawal, sudah pasti bertumpuk-tumpuk kesalahan
untuk rapelan memaafkan. Satu
tips saat melakukan kesalahan terlebih pada sesama manusia –dengan tidak mesti
menunggu moment Syawal- adalah mengiringi kebaikan dari tiap kesalahan itu
dengan lebih, meminjam istilah Dahlan Iskan, jika anda berbuat salah pada orang
lain dengan nilai 5, maka bertaubat dan berbuat baiklah kepada orang itu dengan
nilai 8. Rasulullah SAW menyebutkan: Bertakwalah kepada Allah dimana saja
kamu berada, iringilah keburukan dengan kebaikan niscaya ia akan menghapusnya
dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik (HR. Turmuzi).
Maaf, sebuah kata yang singkat tapi
ternyata ada sebagian orang yang berat uuntuk mewujudkannya, apatah lagi jika
pada posisi orang yang dianiaya. Meminta maaf bukanlah sebuah sikap yang dapat
merendahkan derajat manusia, justru sebaliknya menunjukkan kebesaran jiwa dan
kelapangan hati. Lebih dari itu yang paling sulit dan berat namun lebih mulia adalah mampu memaafkan kesalahan
orang lain. Musthofa Bisri pernah berujar, “Jika engkau berbuat salah itulah
adalah lumrah dan wajar karena engkau manusia, dan jika engkau melakukan
kesalahan lagi tetap kumaafkan karena aku adalah manusia”.
Salah dan khilaf adalah pakaian kita,
sementara maaf adalah cara untuk
mencairkannya. Meskipun demikian, orang yang cerdas adalah yang tidak
mengulangi kesalahan di tempat yang sama dan dengan sebab yang sama.
Bentuk-bentuk Pemaafan Allah SWT
Termasuk (bentuk) pemaafan dari Allah SWT untuk makhluknya adalah rahmat-Nya bagi umat (Islam) ini misalnya
dengan mensyariatkan bersuci dengan tanah (debu) sebagai pengganti air ketika
tidak mampu menggunakan air. Bentuk lainnya adalah Allah SWT senantiasa
membukakan pintu taubatnya dan menerima kembali permohonan maaf dan ampun dari
orang-orang yang berbuat dosa.
Juga termasuk (bentuk) pemaafan adalah bahwa seandainya seorang mukmin
datang menghadap-Nya (di akhirat nanti) dengan membawa dosa sepenuh bumi, tapi
dia tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu, maka Dia akan memberikan pada
hamba-Nya itu pengampunan yang sepenuh bumi (pula). Termasuk (bentuk)
pemaafan-Nya adalah bahwa perbuatan baik dan amalan shaleh bisa menghapuskan
perbuatan buruk dan dosa.
Meminta maaf atau memberi maaf adalah sebuah kemuliaan. Orang yang meminta
maaf tidak akan selalu hina dan orang yang memberi maaf adalah orang yang
posisinya selalu berada dalam kemuliaan.
Hari raya Fithri, Syawal harus dimaknai sebagai moment meminta maaf atau
memberi maaf. Ia hanya salah satu moment untuk itu, yang seharusnya kedua sikap
ini harus selalu ada di hati manusia dengan tidak menunggu Syawal yang akan
datang. Sampaikah kita menemui Syawal yang akan datang? Wallahu A’lam.
Komentar
Posting Komentar