NU_Contoh Orang yang Percaya
CONTOH ORANG YANG PERCAYA
REPUBLIKA — Ketika Nabi
Muhammad SAW menceritakan panjang lebar pengalaman perjalanan spiritualnya
dalam Isra Mi’raj, Sayidina Umar ditanya, apakah engkau percaya terhadap apa
yang diceritakan Nabi barusan? Ia menjawab, sepertinya saya belum bisa percaya.
Nanti setelah diyakinkan melalui penjelasan khusus dari Nabi baru ia percaya
dan yakin.
Selanjutnya, ketika
Sayidina Abu Bakar ditanya dengan pertanyaan yang sama, Abu Bakar menjawab.
“Lebih dari itu, jika itu keluar dari mulut Nabi, saya yakin dan percaya.”
Sayidina Umar mungkin sementara bisa menjadi contoh orang yang percaya melalui
penjelasan (shaadiq). Sedangkan, Sayidina Abu bakar menjadi contoh orang yang
percaya tanpa syarat (shiddiiq). Itulah sebabnya kemudian Abu bakar diberi
gelar al-shiddiiq, sedangkan Umar tidak memperoleh gelar itu, meskipun pada
akhirnya Umar juga sampai pada kualitas al-shiddiiq.
Shadiq dan shiddiq
sama-sama berasal dari kata sadaqah-yashduq berati percaya, membenarkan,
kemudian membentuk beberapa kata lain termasuk shaadiq dan shiddiiq atau
shaduuq. Shaadiq berarti memercayai sesuatu setelah melalui proses panjang,
misalnya, menanti penjelasan yang masuk akal dan masuk di hati. Sedangkan,
shiddiiq atau shaduuq sebuah kepercayaan lebih mendalam dan tanpa harus
menunggu proses penjelasan.
Shadiq masih
terkontaminasi pengaruh akal dan pikiran, sedangkan shiddiiq sudah tidak lagi
digoda oleh pikiran. Shaadiq masih sering terganggu oleh suasana mood seseorang
sehingga adakalanya percaya sangat dalam, tetapi tiba-tiba kembali ragu.
Dampaknya secara sosial orang yang baru sampai di makam shadiq belum bisa
dijamin melakukan ketaatan secara konsisten (istiqamah) karena masih
fluktuatif, masih riskan untuk terpengaruh faktor internal dan eksternal.
Dalam pandangan ulama
tasawuf, sebagaimana diungkapkan Syekh Hasan Syadzali, salah seorang ulama
tasawuf yang mu’tabarah (legitimated), seseorang yang sudah sampai ke tingkat
shiddiiq sudah mampu menampilkan akhlak karimah. Amalan syariahnya sudah
sempurna, karakternya diwarnai dengan muruah, sikapnya dihiasi dengan tawadhu,
perilakunya dibungkus dengan zuhud, dan hati dan pikirannya disinari dengan
keikhlasan.
Ia sudah terbebas dari
hijab dhulmani dan hijab nurani, mulai hidup di dalam bayang-bayang Alquran dan
hadis, dan makrifah Allah sudah aktif bekerja di dalam dirinya, sudah mengenali
sejumlah rahasia Tuhan. Orang-orang seperti ini dilukiskan oleh Syekh Hasan
Syadzali sebagai “manusia yang tidak seperti manusia” (al-basyar la ka
al-basyar).
“Batin mereka bersama Tuhan
dan dhahir mereka bersama makhluk” (bathinuhum ma’a al-Haq wa dhahiruhum
ma’a al-makhluq). “Mereka adalah mereka, tetapi mereka bukanlah mereka” (Fa hum
hum wa la hum hum). Merekalah yang berakhlak seperti akhlak Nabi, sebagaimana
dilukiskan dalam ayat: Wa wajadaka ‘ailan fa aghna (Dan dia mendapatimu sebagai
seorang yang berkekurangan, lalu Dia memberi kecukupan/QS al-Dhuha[93]:9).
Dalam ayat lain diungkapkan: “Mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, orang-orang
yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang
sebaik-baiknya”/QS an-Nisa [4]:69).
Orang-orang yang sudah
sampai kepada makam shiddiq bukan hanya terbebas dari beban hidup, melainkan
juga tidak lagi pernah membebani orang lain, termasuk membebani bangsa dan
negara dengan berbagai ulah. Mereka sudah menjadi umat dan warga bangsa yang
mandiri tanpa bergantung pada siapa pun selain Tuhan.
Kita diminta berupaya
untuk senantiasa meng-upgrade kepercayaan dan keyakinan diri kita dari tingkat
shaadiq ke tingkat shiddiiq. Tidak mudah memang karena dalam kehidupan
sehari-hari kita penuh dengan berbagai godaan dan tantangan. Bukan hanya godaan
dalam bentuk kesedihan dan kekecewaan, melainkan juga dalam bentuk kesenangan
dan kepuasan.
Seorang shiddiiq selalu
memancarkan vibrasi positif dan energi produktif ke dalam lingkungan
masyarakat. Kedatangannya selalu dinantikan kepergiannya selalu dirindukan.
Bukannya seperti orang yang kedatangannya tak menguntungkan kepergiannya tak
mengurangi. (Allahu a’lam).
Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Komentar
Posting Komentar