Nasaruddin Umar_RHS
RMOL — Salah satu modus paling nyata dariReligious-Hate Speech (RHS) ialah merampas atau menyita kekayaan penganut agama atau kepercayaan orang lain. Perlakuan seperti ini sudah jelas melanggar hukum. Namun kenyataan tersebut bukan hanya sekadar pidana biasa seperti pengambilalihan hak orang lain tanpa izin atau restu, tetapi sekaligus melukai keyakinan keagamaan seseorang. Perbuatan seperti ini sebaiknya tidak hanya dijatuhi sanksi hukum pidana biasa tetapi mestinya diperhitungkan dampaknya lebih luas di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Peristiwa ini sering terjadi di dalam masyarakat yang kacau. Seolah-olah milik orang-orang yang beragama lain dianggap halal. Tanpa rasa sedih dan penyesalan, harta kekayaan yang susah payah diusahakan orang dengan begitu gampang diambil alih. Kasus kerusuhan etnik beberapa kali di sejumlah tempat di Tanah Air juga menjadi bukti. Kasus antar etnik yang menyerempet ke wilayah agama seperti yang pernah terjadi di Sampit, Ambon, Poso, dan kasus kerusuhan yang pernah terjadi di Jakarta beberapa tahun lalu. Harta kekayaan orang lain dianggap sebagai harta yang tak bertuan, sehingga diperebutkan oleh para warga.
Tanah perkebunan yang sedemikian lama diusahakan, mulai dari tanah dalam bentuk hutan belantara lalu dibersihkan dengan susah payah, kemudian ditanami tanaman produktif, setelah musim panen seluruh harta kekayaan itu dirampas dengan alasan milik orang asing atau orang kafir. Yang lebih tragis lagi, bukan hanya merampas lahan perkebunan atau pertanian orang tetapi pemiliknya juga dibantai. Seolah-olah tanpa rasa berdosa dan rasa bersalah mayat orang dionggok di atas lahan mereka. Tindakan bengis seperti ini betul-betul sangat sadis dan perlu diberi hukuman dan sanksi yang setimpal.
Atas nama apapun, kapanpun, dan di manapun, perbuatan seperti itu tidak bisa ditolerir. Dalam medan perang sekalipun, Nabi Muhammad Saw selalu mengingatkan agar di medan perang sekalipun tata krama tetap harus ditegakkan. Nabi selalu mewanti-wanti pasukannya sebelum berangkat ke medan perang untuk tidak merusak rumah ibadah, menebang atau membakar pohon atau tanaman, membunuh anak kecil dan orang tua bangka. Jika orang sudah angkat tangan dan menyerah lalu mereka meminta perjanjian damai maka harus diterima. Dalam keadaan orang lain sudah tidak berdaya tidak boleh melakukan pembantaian. Lain halnya kalau mereka melawan atau menyerang maka itu termasuk pengecualian dan kalau ada yang jatuh korban maka itu yang disebut risiko peperangan.
Bagi harta kekayaan yang sudah terlanjur diduduki oleh massa mayoritas, maka kelompok minoritas yang hak-haknya dirampas seharusnya menjadi tanggung jawab pemerintah untuk menegakkan keadilan. Jika dipandang perlu sebagai satu-satunya jalan, pemerintah mengganti lahan kelompok yang teraniaya ke tempat lain yang lebih aman dan sama dengan kedudukan dan sifat lahan yang diduduki penduduk tadi. Jika rumah tinggal mereka dibakar maka pemerintah harus ikut bertanggung jawab untuk mencarikan jalan keluar dari warga yang terdhalimi. Sekecil apapun kelompok masyarakat, bahkan sesesat apapun mereka selayaknya sebagai warga negara Indonesia harus diberi perlindungan jiwa dan keselamatan diri dan keluarga korban.
Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Komentar
Posting Komentar