Nasaruddin Umar_Makna Shirath al Mustaqim

REPUBLIKA — Ihdina al-shirath al-mustaqim, shirath alladzina an’amta ‘alaihim, gair al-magdhub ‘alaihim wa la al-dlalin (Tunjukkilah kami jalan yang lurus. (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat). (QS al-Fatihah [1]: 6-7). Ayat ini menunjukkan ada satu kata kunci yang perlu dihayati, yaitu jalan lurus (al-shirath al-mustaqim). Jalan lurus memiliki banyak makna dan penafsiran. Salah satu di antaranya ialah jalan kehidupan, al-shirat al-mustaqim.
Dalam pandangan tasawuf, jalan lurus (al-shirath al-mustaqim) tidak lain adalah jalan kehidupan itu sendiri. Alquran memperkenalkan dua sayap efektif yang bisa mengorbitkan  seseorang menuju Tuhan, yaitu sayap sabar dan sayap syukur. Sayap sabar terbentuk dari ketabahan seseorang menerima cobaan berat dari Tuhan, seperti musibah, penyakit kronis, penderitaan panjang, dan kekecewaan hidup.
Jika sabar menjalani cobaan itu, dengan sendirinya terbentuk sayap-sayap yang akan mengangkat martabat dirinya di mata Tuhan. Sayap kedua ialah syukur. Sayap syukur terbentuk dari kemampuan seseorang untuk secara telaten mensyukuri berbagai karunia dan nikmat Tuhan, seperti seseorang mendapatkan rezeki melimpah, jabatan penting, dan kesehatan prima. Orang seperti ini sudah terlalu tipis jarak antara musibah dan syukur karena sama-sama ada bangsa.
Kedua sayap kehidupan ini sama-sama bisa mengorbitkan seseorang mendekati Tuhan, tetapi pada umumnya hentakan sayap sabar lebih kencang ketimbang sayap syukur. Sayap sabar seolah-olah memiliki energi ekstra yang bisa melejitkan seseorang. Energi ekstra itu tidak lain adalah rasa butuh yang amat terhadap Tuhan (raja’), penyerahan diri secara total kepada Tuhan (tawakal), dan olah batin yang amat dalam (mujahadah).
Ketiga energi ekstra ini biasanya sulit terwujud di dalam diri orang yang berkecukupan. Bagaimana mungkin seseorang merasa butuh terhadap Tuhan, sementara semua kebutuhan hidup serba berkecukupan. Bagaimana mungkin seseorang menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, sementara ia terperangkap di dalam dunia popularitas. Bagaimana mungkin melakukan olah batin, sementara nuraninya diselimuti kilauan dunia. Bagaimana mungkin khusyuk beribadah, sementara perutnya kekenyangan. Dan bagaimana doa bisa dikabulkan kalau energi yang digunakan mengangkat tangan bersumber dari yang haram.
Orang yang hidupnya selalu berkecukupan dan hidup secara glamour adalah sah-sah saja, tetapi jika ia lupa bahwa kehidupan ini adalah sementara lantas lalai mempersiapkan bekal kehidupan akhirat, pertanda hidup itu tidak berkah baginya. Tidak sedikit orang yang hidup di dalam kebahagiaan semu, selalu dibayangi oleh suasana batin yang hambar, kering, dan membosankan. Pada hakikatnya orang seperti ini hidup dalam kemiskinan spiritual, meskipun kaya secara material atau kaya diukur dari sudut kemakmuran masjid.
Jika suasana batin dibiarkan berlalu menghabisi dan menyita sepanjang hidup kita, tanpa pernah diselingi dengan rasa faqir (miskin di mata Tuhan), apalagi karena deposito dan kekayaan yang begitu melimpah sampai bisa diwarisi tujuh generasi, dikhawatirkan yang bersangkutan akan melahirkan generasi lemah (dha’if) di mata Allah. Bahkan, tidak mustahil akan membebani kita di akhirat kelak. Milik kita di akhirat hanya yang pernah dibelanjakan di jalan Allah. Selebihnya berpotensi menyusahkan kehidupan jangka panjang kita di alam barzah dan di alam baka di akhirat.
Bersihkanlah harta kita dengan zakat dan sedekah, luruskanlah pikiran kita dengan zikrullah, dan lembutkanlah jiwa kita tafakur dan tadzakkur, tangguhkanlah pendirian kita di atas rel shirathal mustaqim. Dengan demikian, semoga kita mendapatkan seruan Ilahi: La tahdzan innallaha ma’ana (Jangan khawatir, Allah bersama kita). Kita perlu menyiapkan waktu untuk merawat jiwa kita supaya bisa lebih sensitif dan efektif di dalam menggunakannya.
Nasaruddin Umar
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Komentar

Postingan Populer