Tafakkur sebagai Ciri Manusia Cerdas
Kalau
sekiranya kami turunkan al-Quran ini kepada sebuah gunung,
pasti kamu
akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah.
dan
perumpamaan-perumpamaan itu kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.
(QS.
al-Hasyr/59:21)
Dalam
Kamus al-Munawir disebutkan tafakkur berakar dari kata fakkaro yang
berarti memikirkan, mengingatkan dan dan terkenang. Tafakkur juga dapat
diartikan dengan ta'ammal artinya pertimbangan, memberi perhatian,
memikir dan mengkaji. Husein bin Awang dalam karyanya Kamus al-Thulab,
Arab-Melayu mengartikan hal tidak jauh berbeda yakni tafakkur berarti
memikirkan dan menimbang.
Sedangkan
secara terminologi, tafakkur diartikan sebagai proses merenung dan memikirkan ciptaan Allah SWT di langit dan di bumi dan
mengarahkan akal untuk senantiasa mengagungkan dan memuliakan sifat-sifat-Nya.
Dalam
al-Quran Allah SWT menuntut kita untuk bertafakkur dengan 18 kali tuntunan, 13
kali dalam ayat-ayat Makkiah dan lima kali dalam ayat-ayat Madaniah. Lebih
banyaknya di kota Makkah mengingat di masa inilah era dimulainya dakwah Islam,
era memahami dan mempertebal keyakinan kepada Allah SWT dan di era inilah
peletakkan nilai-nilai dasar seorang muslim. Dan dampaknya luar biasa yakni
munculnya kader-kader dakwah di masa Rasulullah yang sabar, teguh hati dan
tegar dalam menghadapi serangan dan intimidasi kaum kafir Quraisy.
Menurut
hemat penulis, setidaknya ada tiga pemahaman yang dapat dikemukakan berkaitan
dengan terminologi tafakkur ini yakni pertama, tafakkur adalah sebuah
proses berfikir. Manusia ada dan terus berkembang karena diberikan kemampuan
yang satu ini dan ini yang membedakannya dari makhluk lainnya. Manusia yang
lemah adalah yang malas berfikir dan bertindak. Dan artinya juga, manusia yang
cerdas adalah yang mampu memaksimalkan kemampuan berfikirnya dengan dilandaskan
pada kebesaran Tuhannya dan mampu menangkap sinyal-sinyal kehidupan. Adam Khoo
dan Stuart Tan (2013: 2) dalam bukunya Master Your Mind Design Your Destiny
menyebutkan bahwa setiap kita saat dilahirkan memiliki sumber daya paling kuat
dan berpengaruh yaitu otak dan tubuh. Jika otak dan tubuh digunakan dan
dijalankan secara efektif, sumber daya internal
ini akan memungkinkan munculnya suplemen sumber daya fisik eksternal
yang dibutuhkan untuk meraih tujuan.
Kedua,
yang difikirkan
dan direnungkan adalah hasil ciptaan Allah SWT dan bukan Zat yang menciptakan.
Ibnu Abbas berkata bahwa ada beberapa orang yang mendalami ilmu agama dengan
fokus pada Zat Allah. Lantas Rasulullah SAW bersabda “Pikirkanlah tentang
ciptaan Allah dan janganlah memikirkan Zat Allah” (HR. Abu Nu'aim dan
Baihaqi). Keterbatasan manusia adalah
jawaban intinya. Ketiga, bahwa akal sebagai media yang diciptakan Allah
untuk kemajuan manusia tidak boleh lepas dari kerangka untuk mengagungkan dan
memuliakan-Nya. Hal ini senada dengan makna wahyu pertama yang diturunkan yakni
QS. Al-'Alaq: 1-5. Perintah membaca (berfikir, berilmu) harus berlandaskan pada
nama Tuhan (Iqra' bismi robbika), dan harus memuliskan nama-nama-Nya (Iqra'
warobbukal akrom).
Malik
Badri, seorang Psikolog Islam, mengelompokkan tafakkur kepada tiga hal yakni
tafakkur alam, tafakkur diri dan tentang ketentuan Allah SWT (sunnatullah).
Perjalanan hidup manusia dari tiada menjadi ada, bayi, anak-anak, remaja,
dewasa dan orang tua dan bahkan kematian itu sendiri hendaknya mampu menjadikan
kita dapat berfikir cerdas dan waras. Sayang sekali jika waktu yang terus
bergulir, umum yang terus bertambah ternyata tidak membuat kita memiliki nilai plus
baik dihadapan manusia terlebih lagi dalam pandangan Allah SWT. Banyak
diantara kita yang hanya mengartikan ujian hanya untuk orang-orang miskin dan
papa, namun sebenarnya kekayaan dan popularitas hakikatnya adalah juga ujian.
Ringkasnya hidup dan mati adalah ujian Allah untuk melihat kita siapa di antara
kita yang tergolong ahsanu 'amala (QS. Al-Mulk:2).
'Aun
bin Abdullah ra berkata, ditanya Ummu Darda', apakah amalan yang paling afdhal
yang pernah diamalkan Abu Darda' ra. Jawab Ummu Darda': at-tafakkur wal
i'tibar (berfikir dan mengambil pelajaran). Orang yang cerdas adalah orang
yang tidak terjebak dua kali dalam lubang yang sama. Kemampuan mengambil
pelajaran dari pengalaman yang ada harus menjadikan kita mampu merancang
strategi dalam bertindak, terarah dalam berbuat dan berbobot dalam berfikir.
Kematian sebagai sebuah kepastian adalah pelajaran yang sangat penting dalam
konteks mencerdaskan manusia dan sekaligus mencerahkan ruhani manusia. Yang
dulunya bersahabat, tegur sapa bahkan bergaul akrab keseharian bila telah tiba
saatnya maka akan tinggal kenangan. Maut menjemput akan memutus semua mata
rantai kehidupan. Yang masih hidup terus beraktifitas dan yang telah wafat
mempertanggungjawabkan segala aktifitasnya.
Merenungkan
dari masa asal kita, apa aktifitas kita dan apa tujuan kita hidup adalah
sejumlah pertanyaan yang harus kita sikapi dengan cara tafakkur dan tadabbur.
Semoga.**
Komentar
Posting Komentar