Antara Profesor dan Tukang Perahu
(Tiap Orang Punya Kelebihan)



Dan janganlah kamu memalingkan mukamu
dari manusia (karena sombong)
dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.
(QS. Luqman/ 31: 18)



Suatu hari ada seorang profesor yang ingin refreshing dengan menelusuri sungai. Ia menyewa sebuah perahu dengan tukang kayuhnya. Saat menelusuri sungai, sang profesor mulai memamerkan kecerdasan dan pengetahuannya, lalu ia mengajukan pertanyaan untuk menguji pengetahuan si tukang perahu.
Sambil menunjukkan batu yang diambilnya dari tepi sungai, si profesor bertanya kepada tukang perahu. “Pak, anda pernah belajar geologi?”, tukang perahu menatap profesor dengan bingung dan menjawab, ‘ eh ... tidak Pak”, dalam hati tukang perahu berujar, akupun tidak tahu apa itu geologi. “Kalau begitu”, kata profesor. “Karena ketidaktahuanmu, hidupmu tidak bermakna dan hilang 25%”. Sungguh tidak nyaman perasaan hati si tukang perahu, namun ia terus mendayung perahunya.
Perahu terus melaju, si profesor kemudian memungut selembar daun yang mengambang di permukaan sungai dan bertanya kepada si tukang perahu, “Pak, pernah Bapak belajar botani?” Dijawab tukang perahu, “apa tuh Pak? Saya ndak pernah belajar itu”. Kemudian dibalas oleh profesor dengan menyatakan bahwa karena ketidaktahuan tukang perahu tentang botani, sesungguhnya tidak bernilai dan kehilangan makna hidup sebanyak 50%. Perahu terus melaju dan arus sungai semakin kuat dan perahu mulai berguncang keras. Tiba-tiba si profesor melihat barisan gunung dan menunjuk ke sana dengan bertanya, “Pak, Bapak tahu apa itu geografi?”, Lagi-lagi tukang perahu menjawab dengan jawaban yang serupa. “Jika demikian”, kata profesor, “hidup Bapak tidak berarti dan kehilangan 75% dalam hidup Bapak”.
Dalam perjalanan selanjutnya, air sungai semakin deras dan si tukang perahu kehilangan kendalinya, akhirnya perahu itu menghantam batu yang mengakibatkan perahunya bocor dan akan tenggelam. Profesor kelihatan panik. Dalam suasana seperti itu, giliran tukang perahu balik bertanya, “Pak, Bapak bisa ndak berenang?, dengan ketakutan profesor menjawab bahwa ia tidak bisa berenang. “Kalau begitu, hidup Bapak tidak ada nilainya Pak, dan Bapak kehilangan 100%”, demikian ujar si tukang perahu sambil meloncat ke luar perahu dan dengan sekuat tenaga bergerak cepat menyelamatkan diri ke tepian sungai”.
Pembelajaran apa yang dapat kita petik dari cerita di atas. Setidaknya ada tiga hal yang harus kita renungkan.
Pertama, bahwa kesombongan karena  ilmu yang dimiliki bukan berarti harus meremehkan orang lain yang seakan-akan ilmu yang dimiliki telah paripurna. Sebagaimana kesombongan Iblis kepada Adam karena merasa lebih baik dari unsur penciptaan maupun senioritas keberadaan (kholaqtani minnari wa kholaqtahu min thin).
Kedua, berbicaralah sesuai takaran pengetahuan atau kematangan orang yang diajak bicara sehingga komunikasi yang terjalin bisa lebih panjang, akrab dan menyenangkan. Inilah yang disebutkan dengan berbicaralah kepada orang lain sesuai dengan ukuran kemampuannya. Hal ini dimaksudkan supaya massage atau pesan dapat diterima dan difahami.
Ketiga, mengukur orang dengan kondisi yang ada pada kita bukanlah sesuatu yang bijak, justru yang muncul adalah semakin jauhnya jarak meskipun dalam tempat yang berdekatan. Demikian juga mengapa orang yang sedang emosi, marah meskipun duduknya berdekatan tetapi suara yang muncul adalah suara yang nyaring dan teriak, bandingkan dengan orang yang sedang kasmaran, jatuh cinta, meskipun duduknya berjauhan atau dengan alat komunikasi namun suara yang keluar sangat syahdu dan hampir-hampir tidak terdengar. Mengapa? Karena keduanya berbicara dengan hati. Ilustrasi yang pertama berbicara dengan hati yang sedang emosi dan marah sementara ilustrasi yang kedua berbicara dengan hati yang sedang berbunga-bunga.

Keempat, penghormatan yang diberikan kepada orang yang mungkin ekonomi maupun pendidikannya lebih rendah dari kita tidak menyebabkan kita ikut menjadi rendah, justru sebaliknya, kita menjadi lebih baik dan mulia karena menghormati orang yang secara zhahir rendah dari kita. Bukankah kemuliaan seseorang bukan terletak pada status, pangkat dan jabatan tetapi sejauh mana ia memberikan kesan dan nilai positif bagi lingkungan sekitarnya. Dialah manusia yang bermanfaat. Semoga**

Komentar

Postingan Populer