Jangan Jadi Guru Biasa!



Guru adalah salah satu sumber belajar, karena sebagai sumber maka ia dijadikan sebagai satu referensi atau rujukan diantara informasi yang ada. Yang membedakannya dengan sumber belajar yang lain adalah bahwa guru merupakan sumber belajar yang bergerak, dinamis meskipun tidak selalu kreatif dan inovatif. Membicarakan guru sebagai sumber belajar menjadi sangat penting di samping karena ia adalah sumber yang dinamis dan hidup, juga disinilah letak perbaikan mutu pendidikan dalam arti perbaikan mutu pendidikan tidak harus dan tidak hanya difokuskan kepada perubahan kurikulum, penambahan sarana dan prasarana atau pada manajerial lembaga saja, tetapi yang terpenting adalah perbaikan pada mentalitas dan kapabilitas guru.  Dalam konteks proses pembelajaran di kelas maka guru mempunyai peranan sebagai seorang model (Faturrahman dkk, 2012:170).
Namun ternyata menempatkan diri sebagai model bukanlah pekerjaan yang mudah, keseriusan menuju profesionalisme menjadi hal yang mutlak diperhatikan. Dalam komunikasi sosial, khususnya di ruang kelas, pernahkah kita sebagai guru tidak berhasil mengambil mengemabil perhatian siswa. Ada yang bicara sendiri, melihat keluar runagan atau bermain dengan pulpen dan menggambar imajinasi mereka. Dilain pihak kita pernah menyaksikan seseorang yang menyampaikan materi dan ia benar-benar menjadi pusat perhatian ketika dia biacara. Pertanyaan selanjutnya adalah, apanya yang salah?
Coba perhatikan perbandingan berikut ini (Agung Webe, 2010:97):

  Visual dimaknai sebagai gerak tubuh dengan dominasi 50% dari semua bagian
Vokal atau mutu suara dengan dominasi dari 35% semua bagian
Verbal atau materi dengan dominasi hanya 15 dari semua bagian.
Sekarang coba kita bayangkan jika dalam sebuah pertemuan di ruang kelas, kita berbicara dengan jelas tapi tanpa gerakan, tanpa bahasa tubuh (body language), tanpa ekspresi tentang kesedihan, keceriaan, kemarahan dan tanpa gerakan tangan  yang menggambarkan apa yang sedang dibicarakan. Ingatlah, bahwa apa yang dilihat audiens  melalui visual harus  mewakili tentang apa yang sedang dibicarakan. Jika kita tidak memanfaatkan itu, maka kita telah kehilangan 50% potensi penguasaan massa. Demikian juga jika vokal tidak maksimal, intonasi kacau maka diri kita telah kehilangan potensi sebesar 35%.
Ringkasnya adalah bahwa pemberdayaan aktifitas visual dan vokal mendominasi diri kita saat tampil di publik (baca: ruang kelas). Artinya juga materi yang biasa-biasa saja namun disampaikan dengan memaksimalkan aspek visual dan vokal  akan membuat materi ajar lebih hidup dan dinamis. Hanya yang sering terjadi, kita terjebak pada menyiapkan materi  dan seluruh waktu dihabiskan untuk memperbaiki aspek verbal. Padahal pengaruhnya hanya 15%.
Dengan demikian dapat difahami bahwa menjadi guru yang luar biasa bagi siswa bukan hanya sejauh mana kita menguasai materi, tapi lebih pada sejauh mana kemampuan kita memaksimalkan aspek visual dan vokal. Dari sinergisitas inilah memunculkan istilah hal yang luar biasa jika disampaikan dengan biasa saja maka hal tersebut akan menjadi biasa saja, namun hal biasa yang disampaikan dengan  luar biasa maka ia akan menjadi hal yang luar biasa.
Jika dibawa dalam konteks pendidikan di sekolah, maka  guru yang bisa menceritakan adalah guru yang biasa, guru yang dapat menjelaskan adalah guru yang baik, guru yang mampu mendemonstrasikan adalah guru yang terbaik dan guru yang besar adalah guru yang mampu menginspirasi. Adanya guru yang menginspirasi dan mengesankan adalah modal pembentukan karakter generasi penerus negeri ini. Semoga!

Dimuat di Harian Borneo Tribune

Edisi 22 Oktober 2013

Komentar

Postingan Populer