Kisah Pemuda dan Sebuah Apel
REPUBLIKA.CO.ID, Dikisahkan, beberapa abad lalu di masa akhir
era Tabi’in, hidup seorang pemuda dari kalangan biasa namun saleh luar biasa.
Suatu hari, pemuda yang dikisahkan bernama Tsabit bin Zutho tersebut sedang
berjalan di pinggiran Kota Kufah, Irak. Terdapat sungai yang jernih dan
menyejukkan di sana. Tiba-tiba, sebuah apel segar tampak hanyut di sungai itu.
Dalam kondisi yang
lapar, Tsabit pun memungut apel tersebut. Rezeki yang datang tiba-tiba, sebuah
apel datang tanpa diduga di saat yang tepat. Tanpa pikir panjang, ia pun
memakannya, mengisi perutnya yang keroncongan. Baru segigit menikmati apel
merah nan manis itu, Tsabit tersentak. Milik siapa apel ini? bisiknya dalam
hati.
Meski menemukannya
di jalanan, Tsabit merasa bersalah memakan apel tanpa izin empunya.
Bagaimanapun juga, pikir Tsabit, buah apel dihasilkan sebuah pohon yang ditanam
seseorang. '”Bagaimana bisa aku memakan sesuatu yang bukan milikku,” kata
Tsabit menyesal.
Ia kemudian
menyusuri sungai. Dari manakah aliran air membawa apel segar itu? Tsabit
berpikir akan bertemu dengan pemilik buah dan meminta kerelaannya atas apel
yang sudah digigitnya itu. Cukup jauh Tsabit menyusuri aliran sungai hingga ia
melihat sebuah kebun apel. Beberapa pohon apel tumbuh subur di samping sungai.
Rantingnya menjalar dekat sungai. Tak mengherankan jika buahnya sering kali
jatuh ke sungai dan hanyut terbawa arus air.
Tsabit pun segera
mencari pemilik kebun. Ia mendapati seseorang tengah menjaga kebun apel
tersebut. Tsabit menghampirinya seraya berkata, “Wahai hamba Allah, apakah apel
ini berjenis sama dengan apel di kebun ini? Saya sudah mengigit apel ini, apa
kau memaafkan saya?” kata Tsabit sembari menunjukkan apel yang telah dimakan
segigit itu.
Namun, penjaga kebun
itu menjawab, “Saya bukan pemilik kebun apel ini. Bagaimana saya dapat
memaafkanmu, sementara saya bukan pemiliknya? Pemilik kebunlah yang berhak
memaafkanmu.” Lalu, penjaga kebun itu pun berkata, “Rumahnya (pemilik kebun
apel) cukup jauh, sekitar lima mil dari sini.”
Walau harus menempuh
jarak sekitar delapan kilometer, Tsabit tak putus asa untuk mencari keridaan
pemilik apel. Akhirnya, ia sampai di sebuah rumah dengan perasaan gelisah,
apakah si pemilik kebun akan memaafkannya. Tsabit merasa takut sang pemilik tak
meridai apelnya yang telah jatuh ke sungai digigit olehnya.
Mengetuk pintu,
Tsabit mengucapkan salam. Seorang pria tua, si pemilik kebun apel, membuka
pintu. “Wahai hamba Allah, saya datang ke sini karena saya telah menemukan
sebuah apel dari kebun Anda di sungai, kemudian saya memakannya. Saya datang
untuk meminta kerelaan Anda atas apel ini. Apakah Anda meridainya? Saya telah
mengigitnya dan ini yang tersisa,” ujar Tsabit memegang apel yang digigitnya.
Agak lama pemilik
kebun apel itu terdiam mendengar ucapan Tsabit. Lalu, Tsabit pun tersentak
ketika sang tuan rumah berkata, “Tidak, saya tidak merelakanmu, Nak.” Penasaran
dengan pemilik kebun apel yang mempermasalahkan satu butir apel, Tsabit
menanyakan apa yang harus ia lakukan agar tindakannya itu dimaafkan. “Saya
tidak memaafkanmu, demi Allah, kecuali jika kau memenuhi persyaratanku,” pria
tua itu menjawab.
“Persyaratan apa
itu?” tanya Tsabit harap-harap cemas. “Kau harus menikahi putriku,” kata
pemilik kebun yang mengagetkan Tsabit. Menikahi seorang wanita bukanlah sebuah
hukuman, pikir Tsabit. “Benarkah itu yang menjadi syarat Anda? Anda memaafkan
saya dan saya menikahi putri Anda? Itu adalah anugerah yang besar,” tanya
Tsabit tak percaya.
Begitu
terperanjatnya Tsabit ketika pemilik kebun itu berkata bahwa putrinya yang
harus Tsabit nikahi merupakan wanita cacat. “Putriku itu buta, tuli, bisu, dan
lumpuh. Tak mampu berjalan, apalagi berdiri. Kalau kau menerimanya maka saya
akan memaafkanmu, Nak,” kata pria tua.
Syarat yang mungkin
sulit masuk di akal, hukuman yang harus ditanggung Tsabit hanya karena mengigit
sebutir apel yang temukan di sungai. Namun, hal yang lebih mengejutkan, Tsabit
menerima syarat tersebut karena merasa tak memiliki pilihan lain.
Sementara, ia tak
ingin berdosa mengambil hak yang bukan miliknya. Tsabit, seorang pemuda tampan,
harus menikahi wanita cacat hanya karena menemukan sebuah apel. “Datanglah
ba’da Isya untuk berjumpa dengan istrimu,” kata pemilik kebun.
Malam hari usai
shalat Isya, Tsabit pun menemui calon istrinya yang cacat. Ia masuk ke kamar
pengantin wanita dengan langkah yang berat. Hatinya dipenuhi pergolakan luar
biasa, namun pemuda gagah itu tetap bertekad memenuhi syarat sang pemilik apel.
Tsabit pun mengucapkan salam seraya masuk ke kamar istrinya.
Betapa terkejutnya
Tsabit ketika mendengar jawaban salam dari wanita yang suaranya lembut nan
merdu. Tak hanya itu, wanita itu mampu berdiri dan menghampiri Tsabit. Begitu
cantik paras si wanita, tanpa cacat apa pun di anggota tubuhnya yang lengkap.
Tsabit kebingungan, ia berpikir salah memasuki kamar dan salah menemui wanita
yang seharusnya merupakan istrinya yang buta, tuli, bisu, dan lumpuh.
Tak percaya,
Tsabit pun mempertanyakan si gadis bak bidadari tersebut. Namun, Tsabit tidak
salah, ialah putri pemilik kebun apel yang dinikahkan dengannya. “Apa yang
dikatakan ayah tentang aku?” tanya si gadis mendapati suaminya mempertanyakan
dirinya seolah tak percaya.
“Ayahmu berkata kau
adalah seorang gadis buta,” kata Tsabit.
“Demi Allah, ayahku
berkata jujur, aku buta karena aku tidak pernah melihat sesuatu yang dimurkai
Allah,” jawab si gadis membuat Tsabit kagum.
“Ayahmu juga berkata
bahwa kau bisu,” ujar Tsabit masih dalam nada heran.
“Ya benar, aku tidak
pernah mengucapkan satu kalimat pun yang membuat Allah murka,” kata si gadis.
“Tapi, Ayahmu
mengatakan, kamu bisu dan tuli,” lanjut Tsabit.
“Ayahku benar, demi
Allah. Aku tidak pernah mendengar satu kalimat pun, kecuali di dalamnya
terdapat rida Allah,” jawab gadis cantik itu.
“Tapi, ayahmu juga
bilang bahwa kau lumpuh,” pertanyaan terakhir Tsabit.
“Ya, ayah benar dan
tidak berdusta. Aku tidak pernah melangkahkan kakiku ke tempat yang Allah
murkai,” ujar si gadis membuat Tsabit begitu terpesona.
Tsabit memandangi
istrinya yang cantik jelita itu. Ia pun mengucapkan syukur. Sang pemilik kebun
kagum dengan sifat kehati-hatian Tsabit dalam memakan sesuatu hingga jelas
kehalalannya.
Melihat kegigihan
dan kesalehan Tsabit, ia pun berkeinginan menjadikannya menantu, menikahkannya
dengan putrinya yang shalihah. Dari pernikahan tersebut, lahir seorang ulama
shalih, mujadid yang sangat terkenal, yakni Nu’man bin Tsabit atau yang lebih
dikenal dengan nama Al-Imam Abu Hanifah. Bersama istrinya yang shalihah, Tsabit
mendidik putranya menjadi salah satu imam besar dari empat madzab. **
Komentar
Posting Komentar