Belajar Dari Anak Kodok Untuk Sebuah Perubahan
(Dimuat di Harian Suara Pemred, 17 Desember 2016)


Sudah menjadi hukum alam (sunnatullah), jika berbagai perubahan selalu terjadi, orang bijak mengatakan, perubahan pasti akan terjadi dan kita harus siap kapanpun waktunya, namun yang paling hakiki dan pasti kita temui adalah kematian. Kematian adalah perubahan hidup. Perubahan dalam arti pergantian alam. Dari alam kehidupan kepada alam kematian dan terus dihidupkan lagi untuk mempertanggung jawabkan apa yang dibuat saat hidup yang pertama.

Tulisan ini bukan untuk mengotak-atik esensi perubahan itu sendiri, diperbincangkan selevel apapun, dihadiri oleh intelektual manapun dan ditempat manapun, perubahan adalah sebuah keniscayaan. Hal terpenting adalah bagaimana kita memandang perubahan itu dan bagaimana sikap kita memahami perubahan itu sendiri.
Kemusnahan apa yang ada, kehilangan dengan tiada adalah hukum alam yang mutlak. Jika demikian halnya, hal pertama yang harus menjadi mindset kita adalah bahwa tidak ada yang kekal di dunia ini. Setiap agama mengajarkan bahwa akan ada kehidupan lagi sesudah hidup saat ini, ibarat anak sekolah yang akhirnya akan menempuh ujian, saat anak sedang belajar, maka bertanya dan berbuat adalah sudah semestinya tapi manakala ia sedang ujian, saat itu tidak ada lagi masa untuk bertanya, yang ada adalah ikuti prosesnya dan tunggu hasilnya. Hal kedua tidak semua kita siap dengan adanya perubahan, menyikapi perubahan tantangan terberatnya adalah saat pertama kali menerima perubahan itu, selanjutnya berusaha untuk menyikap secara wise (bijak) perubahan itu. Apatah lagi perubahan dengan sikap yang tidak simetris dengan kondisi jiwa kita. Secara psikologis, sering kadang sikap kita terpengaruh dengan sikap orang di sekitar kita.
Diceritakan suatu hari, dua orang sahabat menghampiri sebuah lapak untuk membeli buku dan majalah. Penjualnya ternyata melayani dengan buruk. Mukanya pun cemberut. Orang pertama jelas jengkel menerima layanan seperti itu. Yang mengherankan, orang kedua tetap enjoy, bahkan bersikap sopan kepada penjual itu. Lantas orang pertama itu bertanya kepada sahabatnya, “Hei. Kenapa anda bersikap sopan kepada penjual yang menyebalkan itu?”
Sahabatnya menjawab, “Lho, kenapa saya harus mengizinkan dia menentukan cara saya dalam bertindak? Kitalah sang penentu atas kehidupan kita, bukan orang lain.”
“Tapi dia melayani kita dengan buruk sekali,” bantah orang pertama. Ia masih merasa jengkel.
“Ya, itu masalah dia. Dia mau bad mood, tidak sopan, melayani dengan buruk, dan lainnya, toh itu tidak ada kaitannya dengan kita. Kalau kita sampai terpengaruh, berarti kita membiarkan dia mengatur dan mempengaruhi hidup kita. Padahal kitalah yang bertanggung jawab atas diri sendiri.”
Pesan yang dapat diambil dari kisah singkat di atas adalah sering tindakan kita dipengaruhi oleh tindakan orang lain kepada kita. Kalau mereka melakukan hal yang buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang lebih buruk lagi. Kalau mereka tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau ia memaki anak kita mungkin akan memaki orang tuanya, kalau orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula pemurah tiba-tiba jadi sedemikian pelit kalau harus berurusan dengan orang itu.
Coba renungkan. Mengapa tindakan kita harus dipengaruhi oleh orang lain? Mengapa untuk berbuat baik saja, kita harus menunggu diperlakukan dengan baik oleh orang lain dulu? Jaga suasana hati. Jangan biarkan sikap buruk orang lain kepada kita menentukan cara kita bertindak! Pilih untuk tetap berbuat baik, sekalipun menerima hal yang tidak baik. Disinilah letaknya keunggulan kebaikan dan keluhuran sikap seseorang.
Persoalan psikologis lainnya adalah tatkala seseorang yang saat jayanya disanjung dan diagungkan, tanda tangannya ditunggu, kehadirannya dielu-elukan, namun tiba-tiba jatuh karena banyak hal, bisa karena habis masa jabatannya, memasuki purna tugas, atau jatuh miskin, di saat inilah perlunya kesiapan menghadapi perubahan dari yang populis menjadi tidak populis, dari terkenal menjadi tidak terkenal, dari yang ditunggu-tunggu menjadi yang biasa-biasa saja.
Jika dicermati sesungguhnya perubahan menjanjikan namun bisa juga menjerumuskan, kecerdasan, kompetensi dan filosofis kodok tuli adalah beberapa instrumen menyongsong perubahan ke arah yang lebih baik.
Kecerdasan (smart) adalah kemampuan cerdas dalam membaca baik membaca yang tersirat (fenomena/peristiwa) maupun membaca apa yang tersurat (sebagai GBPP <Garis-garis Besar Haluan Negara>). Orang yang cerdas akan mampu menyikap kondisi apa yang ada disekitarnya. Kompetensi bermakna adanya sejumlah skill yang harus dimiliki, dalam konteks pendidikan, bagi seorang guru setidaknya empat kompetensi yang wajib ada untuk terwujudnya pendidik yang kompetensi yakni kompetensi personal, kompetensi sosial, kompetensi kepribadian dan kompetensi pedagogik.
Dan yang penting adalah sebagaimana kisah sekumpulan kodok kecil yang berlomba-lomba untuk mencapai puncak sebuah menara. Perlombaan dimulai dengan sorak dukungan dan semangat dari suporter masing-masing, meskipun secara jujur tidak satupun penonton yang yakin bahwa anak-anak kodok itu akan berhasil mencapai puncaknya. Kedengaran suara penonton: “ah tidak mungkin bisa sampai ke puncak”, di kejauhan ada yang bersuara, “susah untuk ukuran anak-anak kodok itu”, dan berbagai suara merendahkan aktivitas sekumpulan anak kodok itu. Memang fakta menunjukkan banyaknya anak kodok yang berjatuhan dan lemah semangat karena suara-suara yang melemahkan mereka.
Tapi ada satu ekor anak kodok yang tetap melangkah semakin  tinggi dan tinggi, ia tidak menyerah dan tidak mempedulikan suara kiri-kanannya, semangat dan terus, akhirnya ia berhasil sampai ke puncak. Melihat hal itu, seekor anak kodok yang juga peserta bertanya cara keberhasilan anak kodok itu. Ternyata anak kodok itu tuli.
Kisah di atas mengingatkan kepada kita bahwa perubahan perbaikan yang kita impikan sangat rentan untuk diremehkan, tidak semua orang akan mendukung apa yang telah direncanakan yang ada adalah adanya omongan orang lain yang mempunyai kecenderungan negatif atau pesimis. Dan sikap itu jelas akan menjauhkan kita dari mimpi keberhasilan.
Rhenald Kasali dalam bukunya Re-Code, Your Change DNA kiranya bagus untuk direnungkan: Banyak kata yang perlu diwaspadai (Mereka yang Berubah-ubah Terus  dan yang Tak Mau Berubah Sama Sekali); Lima kata yang memanggil (Negeriku Butuh Aku untuk Bedrubah); Empat kata yang membunuh (Negeriku Tidak Bisa Berubah); Tiga kata yang menghimpit di hati (Negeriku Sulit Berubah); Dua kata terindah di hati manusia (Terima Kasih); Satu kata yang terpenting adalah CHANGE.

Semoga**.

Komentar

Postingan Populer