Berani Bicara, Pandai
Bicara dan Banyak Bicara
Setiap manusia memiliki
potensi dan skill yang perlu ditumbuhkembangkan. Lingkungan sekolah,
keluarga dan masyarakat menjadi lingkungan yang sangat mempengaruhinya (Moh.
Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, 2012:261). Salah satu potensi yang harus
terus diasah dengan asih adalah kemampuan bicara. Sederhana dan mudah
kedengarannya tetapi kita sering menyaksikan yang menunjukkan ternyata ada
orang-orang yang bermasalah dalam hal bicara ini. Tidak sedikit orang-orang
yang sulit untuk menyampaikan informasi lewat lisannya dan meskipun ia membaca
tetapi tidak mampu mentransfer info yang baru diterimanya.
Berbicara hakikatnya
adalah kemampuan seseorang untuk mengkomunikasikan apa yang perlu untuk
disampaikan. Sebagai sebuah sarana untuk menyampaikan informasi maka berbicara
sebenarnya sebuah art atau seni baik dalam mengimprov kata-kata
maupun dengan menggunakan bahasa tubuh (body language) sehingga dikenal
dengan adanya seni berbicara. Kata-kata yang kedengarannya biasa tapi
disampaikan dengan ekspresi serta intonasi yang berbeda ditambah dengan bahasa tubuh
yang meyakinkan maka akan menimbulkan reaksi yang berbeda. Contoh, kata
“keluar” dengan ekspresi kening berkerut dan mata agak mengecil, dapat
diperkirakan yang terjadi adalah komunikasi untuk sebuah pertanyaan. Beda
halnya dengan kata “keluar” disampaikan dengan mata melotot dan suara
menggelegar dan membentak, dapat dipastikan emosi marah sedang memuncak.
Nabi Muhammad SAW
adalah contoh manusia yang pandai menempatkan kapan beliau harus bicara dan
siapa yang jadi lawan bicara. Sebagai contoh dari kemampuan Nabi Muhammad
mengungkapkan kata-kata dan bentuk penghargaan kepad lawan bicara adalah ketika
Jibril as menemui beliau dan bertanya kapan kiamat itu datang, Nabi menjawab,
“Bahwa yang bertanya dan yang ditanya sama-sama tidak mengetahui”. Ini bentuk
pelajaran yang punya makna dalam. Dari contoh di atas, apa yang berbeda. Yang
berbeda adalah tempo dan ekspresi yang menyertainya. Sosok seperti halnya Bung
Karno, Fidel Castro, Zainuddin MZ adalah sebagian kecil contoh orang-orang yang
memiliki keahlian dalam berbicara. Mereka adalah orang-orang yang berani bicara
dan pandai bicara, bukan kategori orang
yang terlalu banyak bicara. Terlepas apakah mereka menyampaikannya -meminjam
istilah Pakar Komunikasi Politik, DR. Tjipta Lesmana- secara high context maupun low context. High context secara
harfiah diartikan bicara dengan bahasa tinggi, gaya bicayara ini difahami
sebagai bahasa yang multitafsir, perlu difahami berulang-ulang dan bahasanya
“bersayap” namun ada celah salah tafsir. Pak Harto adalah contoh tokoh dunia
yang dimiliki Indonesia yang sering berbicara dengan style ini. Oleh
karena itu, para pendamping dan ajudan beliau harus mampu memahami dan
menangkap sinyal dari bahasa bersayap beliau.
Sementara low
context bermakna penyampaikan bahasa dengan gaya yang mudah difahami,
bahasanya jelas, to the point, tidak multi tafsir namun seketika itu
juga orang yang dimaksud dapat dipastikan akan sangat tersinggung, malu atau
malah tersanjung. Bung Karno dan Habibie contoh jelas dengan style ini.
Tokoh-tokoh yang
disebutkan di atas adalah sosok yang berani bicara dan pandai bicara. Persoalan akan muncul manakala ada orang
dengan tipe terlalu banyak bicara. Jika berani bicara diartikan sebagai sebuah
sikap gentleman, mau dan mampu menyampaikan; sementara jika pandai
bicara diartikan sebagai orang yang pandai bermain kata (apology) dan
mengimprove apa yang disampaikannya, namun orang yang terlalu banyak
bicara dapat disikapi sebagai berikut: Pertama, ia adalah tipe orang ingin
selalu didengar dan tidak mau mendengar; kedua, ia tipe orang dengan sifat ekstrovert
yakni dengan jiwa yang terbuka, tidak bisa menyimpan sesuatu yang sifatnya
rahasia meskipun ia cenderung sosial dan banyak teman. Bahayanya tipe terakhir
ini adalah -meminjam istilah anak-anak sekarang, tipe EMBER- tidak mampu
menempatkan sesuatu yang semestinya diletakkan dan lemah dalam hal pengendalian
diri.
Tipe apakah kita?
Setidaknya sebagai rem kita adalah, yang baik adalah yang bicara yang baik,
berbobot dan pandai menempatkan kapan harus bicara. Banyak bicara justru akan
menjadikan bumerang bagi si pembicara. Lidah tidak bertulang tapi dampaknya
luar biasa. Lidah hanya satu tapi dampaknya bisa ke 1000 orang! Semoga.**
Dimuat di Opini Harian Borneo Tribune
Edisi 6 Maret 2014
Komentar
Posting Komentar