Memahami Makna Tawakkal

Oleh Sholihin H. Z** (Guru MAN 2 Pontianak/ Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Kalimantan Barat) Kata tawakkal dalam al Quran dalam berbagai bentuknya setidaknya disebutkan sebanyak 70 kali di 31 surat dalam al Quran. Diantara ayat tersebut adalah Qs. Ali Imran/3: 159 yang berbunyi: “Fa iza ‘azamta fa tawakkal ‘alallah” (Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah). Juga dalam Qs. An-Nisa/4: 81 disebutkan artinya: “Allah mencatat siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah yang menjadi pelindung.” Secara etimologi, tawakkal artinya berserah diri atau pasrah. Berserah diri atau pasrah kepada siapa? Sebagai mukmin, maka berserah diri dimaksud adalah menyerahkan diri kepada Allah SWT. Menurut Prof Quraisy Syihab (dalam Kosakata Keagamaan, 2020: 170) makna dasar dari tawakkal adalah mengandalkan pihak lain dalam urusan anda. Istilah ini kemudian berkembang menjadi ”menampakkan kelemahan dalam persoalan kemudian menyerahkan kepada pihak lain mengandalkannya”. Hanya, tegas mufassir Indonesia saat ini, mewakilkan persoalan kepada orang lain yang posisinya adalah makhluk berbeda dengan mewakilkan persoalan kepada Allah SWT sebagai al Khaliq. Diantara perbedaannya adalah jika berwakil kepada makhluk bisa saja akan dikhianati dan dibohongi sementara jika seseorang menyerahkan urusannya kepada Allah maka Allah tidak akan mengingkari janji-Nya. Menurut Muhammad bin Hasan asy-Syarif, tawakal adalah orang yang mengetahui bahwa hanya Allah penanggung rezekinya dan urusannya. Orang yang bertawakkal harus menjadi orang yang meyakini akan rezeki dari Sang Maha Pemberi Rezeki. Apa konsep tentang tawakkal ini? Pertama, tawakkal sebagai bentuk penyerahan diri berarti kita sepenuhnya berpasrah dan meyakini kita tidak bisa berbuat apa-apa untuk menentukan masa depan kita, menentukan hari esok bahkan menentukan hari ini dan diri sendiri. Merencanakan dan merancang hari esok sebagai bentuk persiapan agar lebih baik adalah satu keharusan. Tetapi memastikan setelah ini harus begini dan harus begitu, itu bukan wilayah kita karena kita sifatnya terbatas. Islam mengajarkan kepastian hanya milik Allah karena disini kiat harus memahami makna ‘Insya Allah’. Kedua, tawakkal bermakna pasrah diri kepada Allah SWT dengan menggunakan fasilitas yang diberikan-Nya sebagai bentuk usaha zahir manusia. Kisah sahabat Nabi SAW yang cukup popluer yakni yang menemui beliau saat turun dari kuda adalah kisah penuh dengan konsep tawakkal. Ketiga, tawakkal harus difahami sebagai minta wakilkan kepada Allah apa yang menjadi usaha kita. Seperti minta wakilkan kepada orang yang ahli dalam mengatasi masalah hukum yang kita hadapi. Biasanya dengan kata-kata, "saya serahkan sepenuhnya kepada anda". Ini mengandung makna kita berwakilkan urusan kita kepada yang bersangkutan. Menurut Hatim al 'Ashom, ada empat macam tawakkal manusia yakni tawakkul 'alal kholqi (tawakkal kepada makhluk), tawakkal sejenis ini semata mengandalkan posisi orang-orang disekitarnya misalnya dengan perkataan ”selagi paman masih ada di sekitar saya maka saya masih tenang”. Berikutnya tawakkul 'alal mali (tawakkal kepada harta), dengan ungkapan selagi hartaku masih banyak, maka aku akan selalu tenang dan tidak mungkin kemiskinan akan ada padaku. Selanjutnya tawakkul 'alan nafsi yakni tawakkal kepada dirinya sendiri sehingga cenderung over confidence sehingga berucap selama badanku masih sehat, maka semua yang kuinginkan bisa kulakukan. Tawakkal di atas adalah tawakkalnya orang bodoh (jahil) yang mengandalkan sandaran sifatnya materi dan personal. Bagaimana seharusnya? Ialah tawakkul 'ala robbi yakni menyerahkan dirinya sepenuhnya atas kehendak Allah SWT. Jika ada sesuatu yang tidak disenangi menimpa padanya maka ia berpendapat bahwa Allah telah menyiapkan sesuatu yang terbaik untuknya. Jika yang diterimanya adalah kebaikan dan kepuasan maka dilihatnya sebagai dampak dari syukur dan akan ada ujian di dalamnya. Tawakkal sebagai sikap menyandarkan diri kepada Allah adalah meyakni bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Zat yang sangat pantas dan layak untuk dijadikan sandaran. Karena ia yang menciptakan maka ia tahu dimana meletakkan nilai dan posisi makhluk-Nya.**

Komentar

Postingan Populer