KETIKA MANUSIA BUTUH PENGAKUAN
(Ruang Tengah Blok G.30/ 11 Ramadhan 1439/ 27 Mei 2018)
Guru
Besar bidang Ilmu Manajemen di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia yang juga
pendiri Rumah Perubahan, Rhenald Kasali, dalam sebuah seminar dan pelatihan “Marketing
in Disruption”, iseng-iseng bertanya pada ibu-ibu peserta, “Pernah selfie
dan tayangkan fotonya di Facebook dan Instagram?” “Sering” jawab mereka. Lalu apa
yang dirasakan kalau satu jam tidak ada yang mengacungkan jempol, “like,” atau
“share”? Tiba-tiba ibu-ibu tadi gelisah, tapi cuma sebentar, lalu tertawa
riang. Menertawakan diri sendiri. Seorang pria menjawab, “Saya yang disuruh
kirim ‘like’ ke istri. Setelah diberi ‘like,’ dia nyenyak tidurnya. Kalau
tidak, gelisah.”
Cerita
yang mirip juga pernah penulis alami saat usia sekolah dasar, yang sejak usia
sekolah dasar penulis sudah terbiasa berkorespondensi dengan sahabat pena se
Indonesia, bahkan berkirim surat ke Kedutaan Besar yang ada di Indonesia hanya
sekedar untuk mendapatkan informasi dan kiriman foto-foto tentang negaranya,
dari banyaknya surat balasan ada yang membalas hanya dengan foto-foto, hanya dengan
tulisan sebagai balasan surat dan ada yang secara “agak serius” merespon surat
dengan mengirimkan foto dan tulisan yang khusus ditujukan kepada penulis. Saat
balasan surat dikirim dengan melampirkan tulisan yang dikhususkan kepada
penulis terasa ada yang berbeda dibanding dengan balasan berupa foto-foto. Dan
balasan surat itu berulang kali penulis baca, hemat penulis, ini artinya surat
dibaca dan ia merespon siapa pengirimnya. Untuk yang terakhir, terasa ada
kepuasan saat nama penulis disebut dan ini berarti pengakuan terhadap
eksistensi seseorang menjadi hal yang dibutuhkan.
Dari
dua kisah di atas, penulis teringat dengan Teori Kebutuhan Abraham Maslow yang
menghirarkikan kebutuhan manusia pada lima tingkatan yakni 1) kebutuhan
fisiologis (untuk mempertahankan hidup dengan makan dan minum; 2) kebutuhan
rasa aman (aman secara fisik, secara ekonomi); 3) kebutuhan bersosialisasi
(diterima dalam sebuah komunitas, menjalin persahabatan); 4) kebutuhan akan harga
diri (ingin diapresiasi dan dianggap ada oleh siapapun); dan 5) kebutuhan aktualisasi
diri (merefleksikan dirinya sebagaimana keinginannya).
Betapa
pengakuan akan eksistensi dan butuh apresiasi menempati posisi yang urgen dalam
hidup manusia, hanya dengan “like” dan simbol jempol, kita merasa begitu
dihargai, meskipun kebanyakan kita miskin informasi tentang hal itu.
Muhammad Ainun Najib (Cak Nun) membagi manusia kepada tiga jenis
yaitu manusia wajib, manusia sunnah dan manusia haram (Prayogi R. Saputra,
2012:120). Manusia wajib adalah manusia
yang keberadaannya harus ada di tengah-tengah masyarakat. Keberadaannya sungguh
berarti, kepergiannya mengganjilkan dan kedatangannya menggenapkan. Ia mampu
memberikan motivasi bahkan inspirasi bagi lingkungannya. Tipe semacam ini dapat
kita temukan di masyarakat. Dan ia memiliki nilai plus dan pengaruh bagi
sekelilingnya.
Sementara itu ada juga manusia
dengan klasifikasi manusia sunnah. Tipe manusia ini adalah manusia yang lebih
baik ada di masyarakat namun jika tidak ada juga tidak apa-apa. Dalam konteks
ini, keberadaannya akan menambah ghirah dan semangat untuk terus
beraktifitas, namun jika tidak ada, sekelilingnya masih mampu untuk berbuat dan
beraktifitas. Sedangkan manusia haram adalah manusia yang berkarakter negatif,
keberadaannya di tengah-tengah masyarakat justru akan membuat masalah. Ia
adalah bagian dari masalah, bukan bagian dari solusi (problem solver).
Keberadaannya? Justru lebih baik jika ia tidak ada (Wujuduhu ka adamihi). Dan
tipe inipun ada di tengah-tengah masyarakat kita.
Apakah dampak pengklasifikasian
ini hanya sebatas ini? Ternyata tidak, sederhananya begini, apa yang anda
rasakan jika orang tua anda meninggal dan orang-orang di kemudian hari
menyayangkan dan sangat berduka cita atas kepergian orang tua anda, yang
disebut adalah berbagai kebaikannya, berbagai amal salehnya dan keberadaannya
sebagai manusia wajib. Tetapi apa yang terjadi manakala seseorang yang telah
meninggal dunia namun yang disebutnya tentangnya adalah keburukan dan
ketidakbermaknaan hidupnya.
Termasuk kategori yang manakah
kita? Yang pasti siapa yang menabur angin akan menuai badai dan mereka
yang bersungguh-sungguh akan mendapat.
Namun
sesungguhnya jika ingin dikaji lebih jauh, dalam Islam
khususnya yang mendalami wilayah tazkiyatun
nafs (penyucian diri), pengakuan dari makhluk tidaklah membuat ia bersuka
hati sebagaimana ia juga tidak berduka kala di caci. Pujian dan hinaan berada
pada satu garis lurus yang tidak naik pada salah satunya. Bagi kita, masyarakat
awam tentu mencapai maqam ini perlu proses latihan (riyadhah)
yang kontinu, tetapi bahwa ada orang-orang yang telah mencapai maqam ini
maka baginya apakah diapresiasi atau tidak, baginya sama saja, toh,
bukan pengakuan makhluk yang diharapkannya tapi Tuhan ridha atau tidak.**
Komentar
Posting Komentar