Eksis di Dunia, Eksis di Akhirat
(Ruang Tengah Blok G. April 2018)
Eksis bermakna ada. Eksistensi diartikan
keberadaan sesuatu. Terlepas dari eksisnya bermanfaat atau sebaliknya. Eksisnya
membawa pengaruh positif atau negatif. Harapan normalnya adalah kita ingin semua
eksistensi kita dilihat, diperhatikan, diakui bahkan oleh sebagian orang ingin
dipromosikan pada level top score.
Eksis di
dunia berarti ia ingin diakui dan dimasyhurkan oleh siapapun, sepanjang
keinginannya untuk memotivasi dan menginspirasi maka eksis dalam arti manusiawi
dan sah-sah saja. Piramida eksistensi yang dikemukakan oleh Abraham Maslow
menempatkan posisi aktualisasi diri pada puncak piramidanya. Ini menunjukkan
bahwa pengakuan eksistensi menjadi keinginan manusia sejatinya.
Sebagai insan
religius yang mengakui adanya kehidupan sesudah kematian, maka pengakuan ini
tidak hanya sebatas dunia saja, tapi hingga ke alam baka, alam akhirat. Eksis
di akhirat bermakna ia punya segudang perbuatan yang dinilai kebaikan saat di
dunia namun ternyata berdampak akhirat. Dengan segala kebaikan yang diterima
Tuhan, ia dikelompokkkan pada golongan ashhabul maymanah (kelompok kanan
sebagai simbol berkumpulnya orang-orang baik).
Saudaraku,
jangan sepelekan sekecil amal apapun, bisa jadi yang kecil inilah yang mungkin
memantik dan memancing datangnya kebaikan dan kemudahan pada kita. Pekerjaan
yang kelihatannya sepele dan duniawi sekali tetapi punya dampak sebagai investasi akhirat.
Seorang isteri yang menyiapkan secangkir kopi dipagi hari untuk suaminya, satu
perbuatan yang sepele dan kecil namun jika diniatkan sebagai bentuk ketaatan
pada suami maka ia bernilai ibadah, seorang bapak yang bekerja untuk menghidupi
anak isterinya juga ibadah dan bukankah kerja itu sendiri adalah ibadah. Seorang
pejabat yang dengan tanda tangannya dapat meminimalisir maksiat dan kemungkaran
dan diniatkan untuk menyelamatkan kehidupan manusia adalah ibadah. Manusia
dengan karakter semacam ini, ia telah menunjukkan eksistensinya dan bernilai plus
bagi orang-orang disekitarnya.
Dalam kehidupan
ini, kita dipersaksikan dan dihadapkan pada empat golongan manusia. Ada manusia
yang kuat keimanannya sekaligus ia orang yang tajir. Hafal Quran, ibadah
wajib dan sunat betul-betul dijaga. Ia juga seorang hartawan yang dermawan.
Dunia ia sukses, akhirat ia selamat. Sejarah manusia membuktikan orang-orang
dengan penguasaan dua aspek ini, eksis di dunia dan sukses di akhirat.
Kadang kita
menyaksikan ada manusia yang kehidupannya
biasa-biasa saja, ia bekerja sebagaimana umumnya kebanyakan. Penghasilannya
cukup untuk kebutuhan keluarganya tanpa berlebihan. Namun ia adalah orang taat
padanya Tuhannya, sholat lima waktu
betul-betul dijaganya, infaq dan shadaqah menjadi kebiasaannya, shilaturrahim
menjadi aktivitasnya. Ia adalah orang yang bertakwa walaupun secara materi
kekurangan. Inilah yang dinyatakan Allah SWT dalam QS. 2: 155-157.
Golongan
ketiga, ada manusia yang diberikan banyak materi, rumah kost dimana-mana, tanah
berkavling-kavling, mobil sejumlah anggota keluarga, ATM penuh tanpa batas.
Tetapi ia orang yang lemah dan kurang ghirahnya dalam hal beribadah, bahkan ia
tergolong senang bermaksiat. Kondisi semacam inilah yang dinamakan dengan
istidraj, kondisi dimana dipenuhi hajat duniawi untuk pada akhirnya menjadi hal
yang dimurkai-Nya. Hal ini direkam oleh-Nya dalam QS. 6: 44.
Kelompok
terakhir adalah yang melarat di dunia dan sengsara di akhirat. Sudah miskin
harta, miskin pula kehidupan keagamaannya. Rumah ngontrak, anak banyak,
isteri tidak taat, hutang dimana-mana ditambah lagi dengan kehidupannya yang
jauh dari tuntunan agama, tidak nampak aktivitasnya sebagai seorang yang
beragama. Sengsara di dunia sengsara di akhirat. Kondisi ini dinyatakan
oleh-Nya dalam QS. 20: 124-126.
Dimana posisi
kita? Sebagai insan beragama, yang harus diyakini pertama kali adalah bahwa ada
kehidupan lagi sesudah kehidupan saat ini dan kehidupan kedua ini sebagai
proses akuntabilitas dimasa sebelumnya. Idealnya tentu pada golongan pertama,
eksis di dunia dan eksis di akhirat namun setidaknya harapan kita pada kategori
kedua. Bahwa kehidupan saat ini untuk mempersiapkan bekal menuju kampung
keabadian yang penuh dengan kenikmatan. Semoga*
Komentar
Posting Komentar