Materi Pendukung_Makul ASWAJA3
ahlus-sunnah-wal-jamaah-dan-keindonesiaan
Oleh : H. Noor Rohman FZ, B.Ed., M.A (Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UNISNU)
Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah (Aswaja) adalah salah satu aliran
pemahaman teologis (Aqiedah) Islam. Selain Aswaja ada faham-faham teologi lain
seperti Khawarij, Murji’ah, Qadariyah, Jabariyah dan Syi’ah. Pemahaman teologi
Aswaja ini diyakini sebagian besar umat Islam sebagai pemahaman yang benar yang
telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya. Kemudian secara
turun-temurun faham Aswaja diajarkan kepada generasi berikutnya
(Tabi’in-Tabi’it Tabi’in) dan selanjutnya diteruskan oleh generasi-generasi
berikutnya sehingga sampai kepada kita. Hal ini – tentu – dapat dibuktikan
melalui kajian-kajian literer keagamaan. Berkaitan dengan ini ribuan kitab dan
buku telah ditulis oleh banyak ulama dan pakar/ahli.
Menurut telaah sejarah, istilah Aswaja muncul sebagai reaksi
terhadap faham kelompok Mu’tazilah, yang dikenal sebagai “kaum rasionalis
Islam” yang ekstrim. Kelompok ini mengedepankan pemahaman teologi Islam yang
bersifat rasionalis (‘aqli) dan liberalis. Faham Mu’tazilah ini antara lain
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran filsafati dari Yunani. Mereka berpegang
teguh pada faham Qadariyah atau freez will, yaitu konsep pemikiran yang
mengandung faham kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.
Artinya, perbuatan manusia itu diwujudkan oleh manusia itu sendiri, bukan
diciptakan Tuhan. Di samping reaksi terhadap faham Mu’tazilah, Aswaja juga
berusaha mengatasi suatu faham ekstrim yang lain, yang berlawanan faham secara
total dengan kaum Mu’tazilah, yaitu faham kaum Jabariyah.di mana mereka
berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan atau kuasa dalam
berkehendak dan berbuat. Kehendak (iradah) dan perbuatan manusia terikat dengan
kehendak mutlak Tuhan. Jadi segala perbuatan manusia itu dilakukan dalam
keadaan terpaksa (mujbar). Mereka akhirnya befikir fatalistic. Mengapa? Karena
kelompok ini cenderung berfikir skriptualistik sementara kelompok Mu’tazilah berfikir
rasionalistik.
Dalam menghadapi kedua faham yang sama-sama ekstrim tersebut,
Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari (W.324 H) dan Imam Abu Manshur al-Maturidi (W. 333
H) merasa berkewajiban untuk meluruskan kedua kelompok tersebut sehingga sesuai
dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada para sahabatnya. Mereka
berdua memunculkan kembali pola pikir yang mengambil jalan tengah antara kedua
faham teologi yang ekstrim tersebut. Dan perlu diketahui bahwa selama 40 tahun
al-Asy’ari adalah pengikut faham Mu’tazilah. Karena adanya argumentasi
Mu’tazilah yang tidak benar dan ditambah dengan hasil mimpinya bertemu Nabi
SAW; di mana Nabi SAW berkata kepadanya bahwa yang benar adalah mazhab
ahli Hadits (al-Sunnah), bukan mazhab Mu’tazilah, maka ditinggalkanlah faham
Mu’tazilah. Keduanya akhirnya ingin mengembalikan faham aqiedah umat Islam
sesuai dengan apa yang diajarkan Nabi Muhammad SAW kepada para sahabatnya,
dengan mengemukakan dalil-dalil naqliyah (nash-nash al-Qur’an dan Hadits) dan
dalil-dalil aqliyah (argumentasi rasional). Karena faktor dari kedua tokoh
tersebut, Aswaja juga dikenal dengan istilah al-Asy’ariyyun dan
al-Maturidiyyun. Berkait dengan hal tersebut perlu diketahui bahwa mayoritas
umat Islam di negeri kita, terlebih lagi kaum Nahdliyyin (NU), dan
wilayah-wilayah Asia Tenggara lainnya, adalah Asy’ariyyun. Sebagai catatan buat
kita, bahwa meskipun kedua ulama tersebut dikenal sebagai pencetus dan
sekaligus pembela faham Aswaja, namun di antara keduanya ada
perbedaan-perbedaan yang bersifat far’iyyah (cabang), bukan dalam
masalah-masalah pokok aqiedah; Al-Asy’ari lebih condong ke faham Jabariyah
sementara al-Maturidi lebih condong ke faham Qadariyah. (Alangkah baiknya bila
mana kita dapat mempelajari konsep pemikiran al-Maturidi juga sehingga kita
dapat memiliki pemahaman teologi Aswaja secara lebih luas).
Secara ideologi politik penganut Aswaja juga sering disebut
dengan “kaum Sunni”. Istilah ini sering diantonimkan dengan “kaum Syi’i”. Hal
ini pada awalnya terjadi karena adanya perbedaan pandangan di kalangan para
sahabat Nabi mengenai kepemimpinan setelah wafatnya Nabi. Setelah itu
persoalannya berlanjut menjadi persoalan yang bersifat politik. Dari ranah yang
terpolitisasikan inilah akhirnya persoalannya berkembang ke dalam berbagai perbedaan
pada aspek-aspek yang lain, terutama pada aspek teologi dan fiqih. Inilah
realitas sejarah perjalanan umat Islam. Dan perlu untuk diketahui bahwa
mayoritas umat Islam di dunia ini adalah berfaham Aswaja (kaum Sunni). Dalam
berfiqih mereka (kaum Sunni) menjadikan empat mujtahid besar, Imam Maliki, Imam
Hanafi, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali RA sebagai rujukan utamanya. Karena
mayoritas ulama Asia Tenggara bermazhab Syafi’i, maka umat Islam di Indonesia,
termasuk kaum Nahdliyyin, mengikuti mazhab Syafi’i.
Telah disebut di atas bahwa secara teologis kaum Nahdliyyin
(warga NU) adalah bermazhab Aswaja. Artinya, mereka adalah bagian dari kaum
Sunni. Dengan demikian maka secara otomatis faham teologi mereka tidaklah
bersifat ekstrim, akan tetapi bersifat moderat (tengah-tengah). Jadi tidak ada
warga NU, misalnya, yang terlibat kegiatan melawan Pemerintah yang sah, seperti
teroris. Melalui kecerdasan-kecerdasan intelektualitas dan spiritualitas para
ulama NU, terumuskanlah beberapa nilai ajaran yang luhur yang diyakini dapat
membawa umatnya – baik secara individual maupun komunal – ke jalan yang benar,
sejahtera lahir dan batin, selamat di dunia dan di akherat serta diridloi Allah
SWT, termasuk cara kebersamaan hidup berbangsa dan bernegara yang
diliputi dengan kedamaian. Di antara nilai-nilai penting yang diajarkan adalah
sikap at-tawassuth, al-i’tidal, at-tawazun, at-tasamuh dan amar ma’ruf nahi
mungkar.
Kata at-tawassuth mempunyai arti mengambil posisi di
pertengahan, kata al-i’tidal berarti tegak lurus, tidak memihak, karena kata
ini berasal dari kata al-‘adl yang berarti keadilan, kata at-tawazun berarti
keseimbangan, tidak berat sebelah, yakni tidak melebihkan sesuatu dan tidak
menguranginya dan kata at-tasamuh mempunyai arti toleransi, yakni menghormati
perbedaan pendapat dan keyakinan. Semuanya itu diintisarikan dari
al-Qur’an dan Hadits/Sunnah. Nilai-nilai tersebut diamalkan dalam pelaksanaan
amar ma’ruf dan nahi mungkar yang merupakan ruh kehidupan umat dalam rangka
meninggikan kalimat Allah. Inilah ciri-ciri penting yang melekat pada kehidupan
kaum Sunni. Dan nilai-nilai inilah yang senantiasa disandang oleh para ulama NU
semenjak kelahirannya hingga kini. Semua itu tiada lain adalah merupakan
warisan para wali (pendakwah Islam) yang telah berjasa dalam penyebaran Islam
di Tanah Air kita ini.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, pola pikir NU yang didasari
dengan nilai-nilai tersebut dapat dinilai sebagai suatu cara yang paling
efektif, feasible, akurat dan tepat. Hal ini dimaksudkan bahwa eksistensi NU,
baik secara kelembagaan (jam’iyyah/organisasi), perkumpulan (jama’ah-jama’ah),
ajaran (pemahaman keagamaan) maupun kultur keagamaan dan kemasyarakatannya
dapat diterima bahkan didukung dan diikuti oleh sebagian besar umat Islam
Indonesia. Hal ini terbukti dengan penilaian positif dari para
pemimpin pemerintahan Republik Indonesia. Berita terakhir yang patut
dikemukakan di sini adalah tawaran Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),
di saat kunjungan Rais Am dan Ketua Umum PBNU di Istana Negara, 2 Juni 2010,
kepada PBNU untuk bekerjasama (MoU) dalam 5 bidang. Pertama, adalah
masalah penanggulangan gerakan radikalisasi. Menurut penilaian beliau
pendekatan kultural dan keagamaan yang dilakukan NU sangatlah efektif. Kedua,
adalah di bidang peningkatan ekonomi, terutama dalam peningkatan ketahanan
pangan, pengembangan usaha ekonomi mikro dan ketahanan energi. Program ini
perlu dilakukan secara luas agar bisa menjangkau lapisan rakyat yang paling
bawah. Ketiga, kerjasama dalam bidang pendidikan, terutama dengan pendidikan
moral dan penguatan character building. Dikatakan, agenda ini sangat penting
mengingat saat ini pendidikan telah kehilangan aturan dan tata nilai. ”Kita
bisa kembali menata moral bangsa dengan pendidikan moral dan dengan penguatan
character building. ” Demikian kata Said Aqil, Ketua Umum PBNU. Keempat, adalah
penanggulangan climate change. Peran ulama dalam masalah ini sangat penting.
Sebab hal ini amat berkaitan dengan pembinaan moral bangsa. Dengan penanaman
nilai-nilai moral yang luhur diharapkan masyarakat akan lebih bisa menghormati
lingkungan dan menjaga kelestariannya. Kelima, adalah pengembangan dialog
peradaban untuk mewujudkan perdamaian dunia. Saat ini Indonesia dan NU diminta
lebih aktif dalam forum internasional dan diharapkan menjadi leader dalam semua
bidang.
Dari uraian singkat di atas, dapat diambil beberapa simpulan.
Di antaranya (a) faham Aswaja adalah faham yang benar karena didasari dengan
dalil-dalil naqli (al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW) dan ‘aqli, maka faham
Aswaja wajib dipertahankan dan dilestarikan, (b) at-tawassuth,
al-i’tidal, at-tawazun dan at-tasamuh adalah nilai-nilai ajaran luhur yang
ternyata sangat efektif dalam mendakwahkan Islam di mana saja, termasuk di
Indonesia, maka kita kaum Nahdliyyin, terutama kaum mudanya, berkewajiban
mengaplikasikannya dalam memperjuangkan faham Aswaja yang sebenarnya sehingga
eksistensi NU dapat menjadi rahmatan lil-‘alamien, dan (c) penilaian positif
dari Kepala Negara RI wajib direspon secara aktif, proaktif dan sungguh-sungguh
sehingga cita-cita bangsa kita dalam masa yang tidak begitu lama dapat menjadi
realita yang nyata. .
Baca Selengkapnya di: https://dakwah.unisnu.ac.id/ahlus-sunnah-wal-jamaah-dan-keindonesiaan
Copyright © UNISNU Jepara
Komentar
Posting Komentar