Materi Pendukung_Makul ASWAJA2
Oleh : Ansori
(Katib Syuriyah PCNU Kab. Banyumas)
A. Pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah (ASWAJA)
Kata atau istilah Ahlussunnah wal Jama’ah diambil dari
hadis Imam Thabrani sebagai berikut:
افترقت اليهود على إحدى
أو اثنتين وسبعين فرقة ، وافترقت النصارى على إحدى أو اثنتين وسبعين فرقة ،
وستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة، الناجية منها واحدة والباقون هلكى. قيل: ومن
الناجية ؟ قال: أهل السنة والجماعة. قيل: وما السنة والجماعة؟ قال: ما انا عليه
اليوم و أصحابه
“orang-orang Yahudi bergolong-golong terpecah menjadi 71 atau 72
golongan, orang Nasrani bergolong-golong menjadi 71 atau 72 golongan, dan
umatku (kaum muslimin) akan bergolong-golong menjadi 73 golongan. Yang
selamat dari padanya satu golongan dan yang lain celaka. Ditanyakan ’Siapakah yang
selamat itu?’ Rasulullah SAW menjawab, ‘Ahlusunnah wal
Jama’ah’. Dan kemudian ditanyakan lagi, ‘apakah assunah wal jama’ah
itu?’ Beliau menjawab, ‘Apa yang aku berada di atasnya, hari
ini, dan beserta para sahabatku (diajarkan oleh Rasulullah SAW dan
diamalkan beserta para sahabat).
Menurut Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari dalam ktabnya
Ziyadah at-Ta’liqat, Ahlussunnah wal Jama’ah adalah :
أما أهل السنة فهم أهل
التفسير و الحديث و الفقه فإنهم المهتدون المتمسكون بسنة النبي صلى الله عليه وسلم
والخلفاء بعده الراشدين وهم الطاءفة الناجية قالوا وقد اجتمعت اليوم في مذاهب
أربعة الحنفيون والشافعيون و المالكيون والحنبليون
“Adapun Ahlussunnah wal Jama’ah adalah kelompok ahli tafsir, ahli hadis,
dan ahli fikih. Merekalah yang mengikuti dan berpegang teguh dengan sunnah Nabi
dan sunnah khulafaurrasyidin setelahnya. Mereka adalah kelompok yang selamat. Ulama
mengatakan : Sungguh kelompok tersaebut sekarang ini terhimpun dalam madzhab
yang empat yaitu madzhab Hanafi, Syafi’i, Maliki, dan Hanbali.”
Dalam kajian akidah/ilmu kalam istilah Ahlussunnah wal Jama’ah dinisbatkan
pada paham yag diusung oleh Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi,
yang menentang paham Khawarij dan Jabariyah (yang cenderung tekstual) dan paham
Qadariyah dan Mu’tazilah (yang cenderung liberal).
Dalam kajian fikih, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah disisbatkan pada paham
Sunni yaitu merujuk pada fikih 4 (empat) madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan
Hanbali) yang berbeda dengan paham fikih Syi’iy, Dzahiriy, Ja’fariy.
Dari situlah kemudian NU menjadikan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai asas
oraganisasi, yaitu dalam bidang aqidah mengikuti Abu Hasan Asy’ari dan Abu
Mansur al-Maturidi. Sedangkan dalam bidang fikih mengikuti salah satu dari
fikih 4 (empat) madzhab yaitu madzhab Syafi’i (Syafi’iyyah).
Kemudian, pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah dalam bidang tashawwuf, NU
mengikuti Imam al-Junaidi al-Bagdadi (w. 297 H/ 910 M) dan Imam al-Ghazali
at-Thusi (w,505 H/ 1111M)
B. Mengapa NU mengikuti paham Ahlussunnah wal Jama’ah ?
Sebagaimana di jelaskan di atas, istilah Ahlussunnah wal Jama’ah pada
mulanya adalah terkait dengan perbincangan masalah akidah yang menengahi dua
paham yang saling bertentangan. Ahlussunnah wal Jama’ah dianggap sebagai paham
yang moderat yaitu meyakini ke-Maha Kuasa-an Alloh dan menghargai ikhtiyar
(akal) manusia.
Demikian juga dalam bidang fikih, pendapat-pendapat Imam Syafi’i dan para
pengikut/muridnya dianggap paling moderat yaitu mengabungkan antara dalil naqly (al-Qur’an
dan as-Sunnah) dan aqly (ijtihad : ijma’ dan qiyas).
Dalam bidang tashawwuf, ajaran-ajaran al-Junaidi dan al-Ghazali
dianggap moderat, yaitu menggabungkan antara syariah/fikih dan
haqiqat/substansi.
Selain dianggap sebagai model berpikir moderat (wasathiyyah)
dan ihtiyath (kehati-hatian/antisapatif) dalam bidang ibadah, alasan
NU mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah juga dikarenakan para sahabat Nabi perlu
diikuti, karena merekalah yang mengetahui dan memahami terhapa semua yang dilakukan
oleh Nabi.Oleh karena itu Nabi mengatakan : ما انا عليه
اليوم و أصحابه. Bahkan dalam hadis disebutkan bahwa mereka (para sahabat)
dijamin masuk surga.
Hal ini dikuatkan oleh hadis :
عَنْ أَبِي نَجِيْحٍ
الْعِرْبَاضِ بْنِ سَاريةَ رَضي الله عنه قَالَ : وَعَظَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلىَّ
الله عليه وسلم مَوْعِظَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوْبُ، وَذَرِفَتْ مِنْهَا
الْعُيُوْنُ، فَقُلْنَا : يَا رَسُوْلَ اللهِ، كَأَنَّهَا مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ،
فَأَوْصِنَا، قَالَ : أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ
وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ
فَسَيَرَى اخْتِلاَفاً كًثِيْراً. فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ
الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ،
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ
ضَلاَلَةٌ [رَوَاه داود والترمذي وقال : حديث حسن صحيح
Dari Abu Najih Al Irbadh bin Sariyah radhiallahuanhu dia berkata :
Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam memberikan kami nasehat yang membuat
hati kami bergetar dan air mata kami bercucuran. Maka kami berkata : Ya
Rasulullah, seakan-akan ini merupakan nasehat perpisahan, maka berilah kami
wasiat. Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Saya wasiatkan
kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan patuh kepada pemimpin
kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak. Karena diantara
kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya perselisihan.
Hendaklah kalian berpegang teguh terhadap ajaranku dan ajaran
khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk, gigitlah (genggamlah
dengan kuat) dengan geraham. Hendaklah kalian menghindari perkara yang
diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah sesat.
(Riwayat Abu Daud dan Turmuzi, dia berkata : hasan shahih)
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah
menurut NU (ASWAJA AN-NAHDHIYYAH) adalah mengikuti pola pikir Abu
Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi dalam bidang akidah, mengikuti pola
pikir Imam Syafi’i dalam fikih (beribadah dan bermuamalah), dan mengikuti
al-Junaidi dan al-Ghazali dalam bertashawwuf, yang kesemuanya pola pikirnya
adalah moderat, tawasut, tawazun,
atau ta’adul, dan menjaga amaliyah para sahabat Nabi.
C. Implementasi (pengamalan) Ahlussunnah wal Jama’ah
Prinsip moderat yang ada dalam ASWAJA AN-NAHDHIYYAH itu dalam
tataran yang lebih riil dapat dicontohkan serbagai beikut :
a. Bidang akidah
Dalam menjalani kehidupan atau menghadapi persoalan-persoalan, orang NU
tidak boleh hanya bergantung pada kekuasaan Alloh (pasrah) atau sebaliknya hanya
mengandalkan kemampuan akal (teori atau ilmu pengetahuan). Kaduanya harus
dilakukan secara bersamaan.
b. Bidang Fikih (Ibadah)
Dalam memegangi hukum fikih, NU tidak boleh “HANYA” berpegang/berlandaskan
pada pendapat-pendapat yang ada (qauly) tetapi juga harus memperhatikan dan
mengetahui perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan (manhajiy). Motode
berpikir ini diputuskan dalam MUNAS NU di Lampung dan prinsip ini ada
dalam ungkapan :
المحافظة على القديم الصالح والأخذ بالجديد الأصلح
“Tetap menjaga/ berpegang pada
pendapat/tradisi lama (ulama’ terdahulu, salafussholih) yang
baik (relevan), namun tetap mengambil pendapat-pendapat baru yang baik (yang
lebih relevan/susuai dengan kondisi zaman dan ilmu pengetahuan)”.
Dalam beribadah warga NU juga harus berimbang antara
ibadah mahdhoh (ritual, individual, vertikal) dan ibadah ghairu
mahdhah (basyariyyah, insaniyyah, ijtimaiyyah, sosial,
kemanusiaan, kemasyarakatan, horisontal)
c. Bidang Tashawwuf
Dalam menjalankan ibadah, warga NU harus menggabungkan antara hakikat dan
syariat. Aturan-aturan fikih (syarat dan rukun) tetap harus dipenuhi, namun di
sisi lain penghayatan terhadap isi, makna, hakikat, tetap harus diperhatikan.
Demikian juga dalam bertsahwwuf (menjalankan amaliyah dzikir/wirid,
mengikuti thoriqat) tidak boleh melupakan urusan umat dan keluarga.
Adapun menjaga tradisi (amaliyah) para sabahat, oleh NU – dalam bidang
ibadah- antara lain adalah dengan tetap mempertahankan Tarawih minimal 23
rakaat, adzan Jumat dua kali, dan lain-lain serta pola pikir/metode ijtihad
yang dilakukan oleh para sahabat Nabi terutama khulafaurrasyidun.
Mengikuti apa yang dilakukan oleh para sahabat, meskipun tidak dilakukan
oleh Nabi, BUKAN BID’AH. Karena hadis di atas jelas bahwa Rosul memerintahkan
agar berpegang kepada sunnahnya dan “sunnah” (amaliyah, tradisi, apa yang
dilakukan) oleh para sahabat. Maka pengertian “bid’ah” dalam hadis وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ اْلأُمُوْرِ، فَإِنَّ
كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ yang disampaikan oleh Rasul
setelah فعليكم بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ
الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ berarti di luar yang dilakukan oleh
Nabi dan para sahabat.
Puncaknya yang ingin dicapai NU dari asas ASWAJA AN-NAHDHIYYAH
adalah prinsip tawasuth/moderat dan merawat sunnah Rasul dan
“sunnah” para sahabat.
Wallohu a’lam bishshowab.
·
by adminunupwt
·
on 22 Oktober 2020
Komentar
Posting Komentar