Materi Pendukung_Makul ASWAJA1
Dr. HM. Zainuddin, MAJumat, 31 Juli 2015 . in Wakil Rektor I . 59314 views
Sebelum mendiskuksikan topik di atas lebih jauh, yang perlu dijelaskan di sini
adalah mengenai pengertian Ahlussunnah wal Jama’ah (yang selanjutnya disingkat
ASWAJA). Apa yang dimaksud Aswaja di sini adalah sebuah kelompok atau gerakan
dalam sejarah, yang bisa dipahami sebagai sebuah doktrin yang telah dirumuskan
(dari aspek teologis) oleh Al-Asy’ari di Bashrah, Al-Maturidi di Samarkand dan
At-Thahawi di Mesir. Setidaknya inilah yang dianggap “paling”
representatif dalam menjabarkan dan mengimplementasikan ASWAJA dalam
pengertian ma ana ‘alaihhi wa ashabi sebagaimana
yang disebut dalam hadis Nabi itu (meski riwayat hadis tersebut masih debatable,
ikhtilaf).
Pengertian ASWAJA tersebut dalam
sejarah pemikiran Islam kemudian berkembang menjadi sebuah sekte atau
gerakan vis a vis Mu’tazilah maupun Syi’ah. Kalau kita telaah
sejarah, bahwa kemunculan ASWAJA sebagai kelompok adalah lahir sebagai sebuah
reaksi terhadap kelompok Mu’tazilah yang dianggap “sesat” karena terlalu
mendewakan akal daripada wahyu. Dari benih perbedaan “peran akal” inilah yang
kemudian berlanjut pada perbedaan di hampir seluruh problema teologis antara
keduanya. Dan perlu diketahui, bahwa perbedaan itu berkisar pada
persoalan-persoalan metafisik yang bersifat spekulatif dan relatif misalnya
perbedaan tentang “apakah Tuhan itu bisa dilihat di akhirat nanti”, “apakah
Tuhan punya tangan atau kekuasaan”, “apakah al-Qur’an itu qadim atau baru (hadis)”,
dan seterusnya.
Itulah pengergian ASWAJA sebagai
fenomena gerakan dalam sejarah pemikiran Islam. Kemudian secara spesifik lagi,
NU membuat rumusan ASWAJA sebagai mazhab yang dalam berakidah mengikuti salah
satu imam al-Asy’ari dan al-Maturidi; dalam ubudiyah mengikuti salah satu imam
empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), dan dalam bidang tasawuf mengikuti
salah satu imam al-Junaidi atau al-Ghazali.
Islam sebagai agama yang memuat
ajaran-ajaran untuk menjadi pegangan hidup manusia termaktub dalam
al-Qur’an dan al-Hadis atau Sunnah Rasul. Al-Qur’an sebagai wahyu yang memuat
ajaran-ajaran tidak bisa dipahami dengan baik tanpa melalui pemahaman yang baik
pula. Di sini yang bisa menjelaskan dan menterjemahkan al-Qur’an secara tepat
adalah Rasul itu sendiri. Oleh sebab itu pada saat Rasul masih hidup segala
persoalan yang berkaitan dengan agama dapat dijelaskan oleh beliau, sebab apa
yang diucapkan oleh Rasul adalah wahyu juga. Hadis atau sunnah sendiri
berfungsi sebagai penjelas dan petunjuk-petunjuk yang belum termaktub dalam
al-Qur’an. Tetapi begitu Rasul meninggal maka persoalan agama menjadi pekerjaan
rumah umat untuk bisa memahami sendiri melalui ijtihadnya masing-masing.
Persoalan-persoalan yang muncul setiap kurun sangat beragam dan bertambah
kompleks sementara tidak seluruh aturan-aturan hukum bisa diketahui secara
langsung dari nash al-Qur’an maupun al-Hadis atau al-Sunnah.
Di sinilah maka peran ijtihad sangat penting. Tetapi karena tidak semua orang
mampu melakukan ijtihad, maka yang lain bisa mengikuti imam mujtahid atau aimmat
al-mazhab, yaitu mengiuti aturan-aturan hukum yang ditetapkan oleh imam
mujtahid atau mazhab tersebut.
Dalam tradisi NU, bermazhab itu
ada dua kategori, yaitu bermazhab secara qauli dan bermazhab
secara manhaji. Bermazhab seara qauli adalah
mengikuti mazhab dari segi hukum yang sudah jadi (produk) dan bermazhab secara manhaji adalah
mengikuti mazhab dari segi pola pikir (manhaj al-fikr), sebagai sebuah
proses bukan produk.
Bermazhab scara qauli tidak
selamanya bisa dipertahankan sebab pengambilan keputusan hukum (produk hukum)
oleh seorang imam atau sekelompok imam mujtahid tidak lepas dari situasi dan
kondisi yang melatarbelakanginya (sosial, budaya, geografi, politik dst),
sementara zaman terus berubah dari tahun ke tahun dan dari waktu ke waktu.
Dalam era modern seperti
sekarang ini, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi semakin canggih, perubahan
sosial begitu cepat dan problem-problem sosial pun semakin kompleks, maka
ketentuan-ketentuan hukum (baca: doktrin) yang telah dirumuskan ASWAJA yang
bersifat qaul atau aqwal tidak selamanya
mampu menjawab problem dan tantangan zaman tersebut, maka yang harus segera
dilakukan adalah merujuk mazhab secara manhaji, atau harus
berani mencari alternatif lain dari ketentuan-ketentuan mazhab yang selama ini
dijadikan frame of reference, sebab kalau tidak yang terjadi adalah
kemandekan berpikir dan tidak berani mengeluarkan keputusan-keputusan
hukum baru yang menjadi tuntutan masyarakat. Tradisi me-mauquf-kan
masalah hukum menjadi trend jam’iyah NU karena regiditas
--untuk tidak mengatakan fanatik-- dalam mengikuti salah satu mazhab. Ini yang
menyangkut masalah fiqh.
Di bidang teologi, banyak
doktrin-doktrin yang kadang-kadang juga perlu kita tinjau ulang. Oleh sebab itu
yang berlu kita sadari, bahwa ASWAJA itu merupakan pola pikir (manhaj
al-fikr) yang sebagian relevan dan sebagian lain mungkin perlu dikaji ulang
(baca: rekonstruksi). Kita tidak bisa memaksakan ASWAJA sebagai teologi
kemapanan (estabilished), tetapi ia merupakan khazanah, turats yang
tidak selalu benar adanya. Dengan begitu, maka ASWAJA sebagai manhaj
al-fikr tidak lain adalah proses dinamika pemikiran yang terus
berkembang dan tidak pernah selesai.
Kini saatnya kita mengembangkan
pemikiran-pemikiran teologis yang menyentuh pada persoalan-persoalan praktis
yang terjadi di masyarakat dan kepentingan umat manusia. Pemikir-pemikir
teologi yang bersifat idealis dan cenderug mengusik Zat Tuhan perlu segera
dibalik untuk lebih cenderung antroposentris dan populis (at-tafkir fi
khalqillah la fi dzatillah). Pemikiran-pemikiran teologis klasik (Hassan
Hanafi memakai istilah tradisional), baik pemikiran teologi Mu’tazilah maupun
Asy’ariyah banyak disorot oleh pemikir-pemikir kontemporer seperti Iqbal,
Abduh, Arkoun dan Hassan Hanafi. Misalnya konsep al-Ghazali dianggap tidak
relevan lagi dengan realitas keilmuan yang berkembang dewasa ini.
Pemikiran kausalitas kalam al-Asy’ari tidak kondusif untuk menumbuhkan etos
kerja keilmuan baik dalam wilayah kosmologi maupun humaniora (lihat, Amin
Abdullah 1994: al-Baghdadi: 330). Seperti yang dikatakan Tolchah Hasan (1994:
6), setidaknya ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian bagi pengikut mazhab,
yaitu : mengikuti kebenaran ajaran, mengetahui hakikat realitas yang terjadi,
dan mengadaptasikan yang satu dengan yang lain secara proporsional.
Harap maklum jika pemikiran
teologis klasik begitu melambung jauh dan bersifat metafisik-spekulatif. Karena
memang sumber inspirasinya berasal dari Platonis dan Neo-Platonis baik
pemikiran Asy’ariyah maupun Mu’tazilah. Oleh karena itu, Hassan Hanafi
(1999:7) berbeda dengan para pemkir Islam pada umumnya, memberikan pengertian
teologi bukan ilmu tentang ketuhanan yang menurut pengertian epistemologisnya
terdiri dari logos dan theos, namun ia merupakan
ilmu perkataan (ilmu kalam). Karena menurutnya person Tuhan tidak tunduk pada
ilmu. Teologi dimaknai sebagai antropologi yang berarti ilmu tentang manusia,
ilmu yang merefleksikan konflik-konflik sosial politik dan sebuah masyarakat
berkepercayaan.
Apa yang dikehendaki Hassan
Hanafi ini adalah sebuah obsesi untuk menjadikan teologi sebagai ilmu
yang membawa nilai guna bagi umat, bukan sekadar teologi yang tak memiliki
wawasan sosial. Oleh sebab itu penulis sendiri cenderung jika teologi itu
dipahami sebagai ilmu agama secara umum yang juga memiliki orientasi
antropo-sosiologis maupun kosmologis. Dengan demikian teologi tersebut akan
selalu bermakna bagi pemecahan problem-problem kemanusiaan modern, semoga***
Komentar
Posting Komentar