Men-silent-kan Ibadah


Oleh Sholihin H. Z.
(Penulis Buku: Ku Ingin, Semua Pintu Surga Memanggilku, GMBI_2019))



Segala aktifitas yang diniatkan karena penghambaan pada Allah SWT sejatinya adalah ibadah. Ibadah menjadi item tersendiri dalam khazanah keislaman, karenanya ibadah digolongkan sebagai konsep penghambaan manusia (makhluq) kepada pencipta manusia (khaliq). Ibadah juga dapat dilihat sebagai media memahami, mengenali dan menyatakan ketundukan kepada Khaliq.
rahasiakanlah ibadahmu seperti engkau merahasiakan semua aib-aibmu
Pertanyaannya adalah apakah ibadah itu perlu diekspos atau dinyatakan dengan  perilaku, sehingga dapat disaksikan oleh siapapun? Sebelum menjawab pertanyaan ini. Imam Ghazali menyebutkan, “Seseorang tidak disebut berilmu bila hanya sibuk menghafal (teks) tanpa memperhatikan filosofi dan rahasia-rahasia di dalamnya”. Ungkapan Hujjatul Islam ini menunjukan bahwa ibadah yang dilakukan hendaknya tidak hanya berhenti pada sejauh mana merapat dan meluruskan shaf saat sholat. Ibadah bukan hanya diartikan zakat dan shadaqah pada bulan Ramadhan saja, bahwa haji bukan sekedar menghafal bacaan-bacaan saat berlangsungnya prosesi tersebut. Sederhananya, zikir dengan mengucapkan tasbih, tahmid dan takbir hendaknya tidak berhenti pada usai sholat saja, pesan yang disampaikan dan ini yang esensial yakni sejauh mana nilai-nilai yang terkandung dalam ibadah itu mampu ditransfer dalam keseharian sehingga memiliki implikasi sosial dan bermakna keumatan.
Dari lima rukun Islam yang ada, ada yang sirr dan jahar. Tersembunyi dan nampak. Ibadah tersembunyi mengajarkan keikhlasan dan hanya Allah yang Maha Tahu. Ibadah yang nampak mengajarkan memotivasi dan menginspirasi sekitar kita untuk berbuat lebih baik dan menjaga hati. Bukankah kemuliaan satu sifat akan nampak jika dihadapkan pada kondisi sebaliknya? Dari sisi lain, aktifitas yang dilakukan dapat dinilai sebagai sebuah identitas. Bukankah identitas harus dinampakkan? Seorang yang sholat berjamaah di masjid adalah identitas, memakai pakaian yang menutup aurat adalah identitas, ucapan kalimat thoyyibah adalah identitas. Begitu pentingnya identitas sehingga Rasulullah SAW kelak akan mengenali umatnya dari identitas yang ada yakni dari air wudhu. Bagaimana mereka yang tidak punya identitas?
Jika kita mau jujur, sesungguhnya kita ingin ibadah kita diketahui dan dikenali orang. Disinilah letak persoalannya, karena memang sifat manusia senang memperlihatkan kelebihan yang ada padanya. Namun sejalan dengan bertambahnya usia, bertambahnya ilmu dan bertambahnya perjalanan hidup, personal branding itu sedikit demi sedikit akan mulai kabur dan selanjutnya seperti yang disampaikan oleh Sayyidina Umar bin Khaththab bahwa seorang yang baru belajar maka hendaklah berhati-hati bahwa ia sedang memasuki pintu kesombongan, ini level pertama, dengan bertambahnya ilmu dan pengalaman hidup maka sikap tawadhu akan mengitarinya, ini level kedua, dan jika sudah terasah, ia akan berkata, “saya tidak punya apa-apa, hanya sedikit yang dimiliki”, inilah level ketiga.
Keikhlasan beribadah berkaitan dengan suasana hati, ketulusan inilah yang menjadi barometer tinggi rendahnya nilai sesorang di hadapan Allah. Karenanya menyembunyikan ibadah menjadi penting jika dilihat dari sisi ini. Tidak perlulah jika dikatakan, “mau ngaji dulu ah”, atau selfi saat beribadah sebagai bukti fisik bahwa kita sedang “dekat dengan Allah”, atau dengan menulis status, “alhamdulillah, segarnya mandi dini hari dilanjutkan dengan tahajjud”. Ketahuilah, iblis sangat lihai menumpang aktifitas kita sehingga yang muncul adalah ‘ujub, takabbur dan sejenisnya. Rasulullah SAW menyebutkan “Sesungguhnya Allah mencintai hamba yang bertakwa, hamba yang hatinya selalu merasa cukup dan yang suka mengasingkan diri.” (HR. Muslim no. 2965, dari Sa’ad bin Abi Waqqash). Mengasingkan diri bermakna amalannya sering tidak ditampakkan pada orang lain. Dapat difahami, ini adalah dalam rangka menjaga hati. Semoga* (Blok G. 30/121019)







Komentar

Postingan Populer