Berawal dari Nikmatnya Sesuatu


Sering kita mendengar ucapan, “saya senang dengan orang ini, rase nyaman berteman dengannya” atau “saya suka membeli makanan karena rase enak”. Jika demikian, dapat difahami bahwa terjadinya kesesuaian atau kecocokan tergantung rasa. Jika dikaitkan dengan aktifitas ibadah kita, maka dapat dicontohkan seseorang yang merasa betah zikir dan duduk di atas sajadah karena ia “merasa” nyaman dengan kondisi demikian.
Rasa ini juga yang dialami oleh manusia mulia, Nabi Muhammad SAW. bersama para sahabatnya yang mulia. Dalam Nashaihul ‘Ibad disebutkan bahwa tiga perkara dari kenikmatan dunia dititahkan kepada Nabi SAW adalah wewangian, perempuan (isteri) dan sholat. Saat itu, Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabat. Tiba-tiba Abu Bakar ash-Shiddiq berkata, “Engkau benar wahai Rasulullah, akupun menyukai tiga hal yaitu melihat wajahmu, menafkahkan hartaku sesuai perintahmu dan putriku yang kini menjadi isterimu”.
Lantas, Umar bin Khaththab ra.  berkata, “Engkaupun benar wahai Abu Bakar, akupun senang dengan tiga hal yaitu mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran serta berpakaian sederhana”, Utsman bin Affan pun menyambung, “Engkau benar, wahai Umar, akupun menyukai tiga hal lainnya yaitu membuat kenyang orang lapar, memberi pakaian orang yang telanjang dan membaca al-Quran.”
Tidak ketinggalan juga, Sayyidina Ali bin Abi Thalib pun ikut bicara, “Engkau benar wahai Utsman, akupun menyukai tiga hal yaitu melayani tamu. Berpuasa dimusim panas dan berperang dijalan Allah.
Di saat mereka sedang berbicang-bincang seperti itu, tiba-tiba datang Jibril as dan berkata Nabi Muhammad saw, “Mendengar percakapan kalian, Allah swt mengutusku dan memerintahkan kepadamu, wahai Rasulullah untuk bertanya padaku tentang apa yang aku cintai jika aku menjadi penduduk bumi?’,  Jibril as menjawab, “memberi petunjuuk orang-orang yang sesat, menemani orang-orang yang taat kepada Allah dan menolong keluarga yang fakir.”
Selanjutnya Jibril as berkata, “Allah swt mencintai tiga hal pada diri hamba-Nya yaitu kuatnya upaya seorang hamba untuk taat padanya, tangis dan hamba menyesali maksiat yang dilakukan dan kesabaran seseorang saat ia menghadapi kefakiran.”
Uraian di atas mengajarkan kepada kita:
1. Kenikmatan seseorang dalam beribadah akan berbeda satu dengan lainnya, karenanya kata “memahami orang lain” dalam mengarungi  kenikmatannya harus menjadi nilai tambah kita untuk menyemai sikap memahami orang lain. Apalagi jika kita meyakini bahwa seseorang merasa tenang karena ia yakin amalnya tidak akan diambil orang lain.
2. Harus ada amalan yang menjadi andalan kita sehingga kita dikenal oleh Allah dan Rasul-Nya. Pengertiannya adalah hendaknya dari banyaknya perbuatan kita, mesti ada perbuatan baik yang rutin dan menjadi kebiasaan kita. Hal ini sejalan dengan pernyataan Allah yang menyukai satu perbuatan yang meskipun sedikit tetapi rutin. Rutinitas yang dilakukan itulah yang dinamakan dengan istiqamah. Dalam konteks ibadah, istiqamah bermakna ia yakin dan teguh pendirian melaksanakan satu kebaikan.
3. Bukankah nanti semua manusia akan datang dengan membawa amalan masing-masing untuk dilaporkan kepada Allah. Namun ada manusia yang kelak akan datang membawa amalan dan kemudian dihitung sebagai pahala namun akhirnya pahalanya dibagikan habis kepada orang-orang yang pernah dicela, pernhadi difitnah dan dicaci maki. Dalam hadits Nabi SAW, orang semacam ini dikategorikan sebagai orang yang muflis (bangkrut). Bagaimana dengan orang yang datang kepada Allah tanpa membawa amal? Tentu sangat menyedihkan.
4. Tuntutan yang nantinya dihadapkan kepada kita adalah apa yang menjadi kompetensi kita, bagaimana kita mendapatkan dan memanfaatkannya. Hal ini yang oleh ahli tafsir Indonesia, Prof. M. Quraisy Syihab disebutkan bahwa pelajarilah ilmu yang mendukung aktifitas profesi kita masing-masing. Namun ini bukan berarti menafikan pentingnya ilmu lain untuk kelancaran yang mendukung aktifitas kita sehari-hari.
Semoga Bermanfaat. (Ruang Guru/IKIP MAN2, 261019)




Komentar

Postingan Populer