Kesadaran Guru Sebagai Tonggak Pendidikan Karakter
Hari Ulang Tahun
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) ke-72 dan Hari Guru Nasional (HGN)
tahun 2017 kali ini mengangkat tema “Membangkitkan Kesadaran Kolektif
Guru dalam Meningkatkan Disiplin dan Etos Kerja untuk Penguatan Pendidikan
Karakter”. Penulis sengaja menggunakan kata “mengangkat” tema dan bukan
“mengambil” setidaknya didasari oleh dua hal.
Pertama, kata diangkat
bermakna sebelumnya bisa tidak muncul, bisa tenggelam dan tidak mengemuka,
sehingga dengan pemilihan kata ini bermaksud agar spirit yang terdapat pada
tema itu muncul kembali dan karena dipandang perlu serta selalu kontekstual
maka spirit itu harus tetap diangkat, spirit tentang kesadaran kolektif
berbangsa dan bernegara, spirit untuk terus berkarya dan memiliki etos kerja yang
maksimal dan spirit membangkitkan serta memperkuat pendidikan karakter anak
bangsa. Argumentasi berikutnya sengaja menggunakan kata “mengangkat” adalah
bahwa jika sesuatu telah diangkat logikanya akan kelihatan, apapun itu, karena
jika tidak diangkat ia tidak akan nampak dan terkesan sembunyi. Tema ini
diangkat supaya guru secara keseluruhan dan siapapun yang menempati wilayah negeri
ini tahu dan sadar bahwa perlu karya nyata dan perwujudan sikap bahwa untuk
terbentuknya anak bangsa yang kuat karakternya perlu kerja sama dan sama-sama
kerja seluruh elemen bangsa. Diakui atau tidak (harus diakui) promotornya
adalah guru.
Guru adalah komponen
penting dan strategis dalam menentukan keberhasilan pendidikan. Dari guru
dikenal jiwa patriotisme, guru yang mengenalkan sosialisasi dan komunikasi pada
siapapun, guru yang mengajarkan nusantara dengan provinsi-provinsinya, guru
yang mengenalkan sejarah bangsa ini dengan jatuh-bangunnya hingga saat ini,
guru dengan kompetensinya melahirkan berbagai profesi lainnya.
Sangat wajar dan
seharusnya, kemudian penghormatan dan apresiasi diberikan kepada profesi ini.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 78 Tahun 1994
menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Guru Nasional.
Kembali ke tema HUT
PGRI ke-72 dan HGN tahun ini, penulis melihat ada dua kata kunci untuk dapat
memahami sebagai refleksi di hari ulang tahunnya ini. Kata kunci itu adalah
kesadaran kolektif guru dan penguatan pendidikan karakter.
Interkoneksitas atau
keterkaitan keduanya adalah bahwa membangun kesadaran kolektif guru adalah
penting dilakukan, karenanya secara sadar ini akan dapat memperkuat anak didik
menjadi anak bangsa yang memiliki karakter unggul. Kerja ini bukanlah kerja
ringan, bukan kerja zam-zam ala kazam¸sekali mantra langsung jadi.
Program membina anak bangsa supaya memiliki karakter yang kuat adalah pekerjaan
jangka panjang dan berat karenanya diperlukan kesadaran kolektif yang hasilnya
adalah 10, 20 hingga 30 tahun yang akan datang. Jika ingin memprediksi
Indonesia Jaya 30 tahun yang akan datang maka saat inilah seluruh komponen
harus ikut memikirkan dan berbuat, karena hanya orang sadarlah yang bisa
berpikir dan berbuat. Jangan dipisahkan kata “berpikir dan berbuat”. Ada orang
yang hanya berpikir tapi tidak berbuat apa-apa. Ia menjadi konseptor yang tidak
pernah menyentuh bumi. Demikian juga ada orang yang rela berbuat tapi tidak
didasari oleh konsep yang jelas sebagai output dari proses berpikirnya,
akibatnya apa yang dihasilkan tidak bermakna bagi dirinya dan orang lain.
Belajar dari pahlawan
di negeri ini, sebutlah Proklamator Sukarno-Hatta, KH. Dewantara, Bung Tomo,
Jenderal Sudirman dan lainnya betapa mereka adalah orang yang tidak hanya kuat
secara konsep tapi ikut turun ke lapangan sebagai keyakinan atas apa yang
diyakininya. Negeri ini harus dibangun bersama, terlepas dari apapun yang
melatarbelakanginya.
Kuatnya kesadaran
kolektif berbangsa dan dengan jiwa merdeka pada jiwa para pahlawan negeri ini
kemudian memunculkan karakter-karakter yang tangguh dan bermental baja.
Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah berujar, “Robek-robeklah badanku,
potong-potonglah jasad ini, tetapi
jiwaku dilindungi benteng merah putih, akan tetap hidup, tetap menuntut bela,
siapapun lawan akan kuhadapi”.
Ucapan di atas, ucapan
seorang yang fisiknya lemah, kurus dan TBC yang dideritanya. Namun ia memiliki
karakter yang kuat, mampu menggerakkan Angkatan Perang Indonesia (istilah waktu
itu). Lagi-lagi, karakter yang kuat tidak diciptakan begitu saja, ia perlu
proses, bahkan ia ditempa oleh lingkungan dan alam. Disaat ini, penguatan
pendidikan karakter menjadi tema sentral yang harus dibangun secara kolektif
tidak hanya oleh profesi guru tapi juga oleh semua profesi.
Pertanyaan selanjutnya
bagaimana membangun kesadaran guru dan menjadikan sekolah sebagai lingkungan
yang kondusif dalam rangka pembinaan pendidikan karakter peserta didik?
Pertanyaan ini semacam pertanyaan retoris, tetapi tetap perlu untuk direnungkan
dan disikapi secara serius. Sekolah sebagai salah satu lingkungan yang
membentuk karakter peserta didik, memegang peran yang sangat urgen dalam
pendidikan karakter peserta didik.
Syamsul Kurniawan
(2017: 49) menyebutkan setidaknya ada tiga aspek yang harus diperhatikan dalam
pendidikan karakter di lingkungan sekolah. Tiga aspek tersebut adalah (1)
pembenahan kurikulum sekolah; (2) memperbaiki kompetensi, kinerja dan karakter
guru dan; (3) pengintegrasian dalam budaya sekolah.
Kurikulum sebagai ruh
dalam sebuah lembaga pendidikan adalah apa yang menjadi target yang harus
diwujudkan. Ia laksana kompas, arah dan patokan sebuah perjalanan. Sebagai
contoh, kurikulum sejak 1947 hingga saat ini mengalami multiorientasi meskipun
disatu sisi sesuai dengan karakteristik pada masanya. Tahun 1947, orientasi
pendidikan lebih bersifat politis yakni dari orientasi pendidikan Belanda ke
kepentingan nasional. Kurikulum 1952 yang kemudian diberi nama Rentjana
Pelajaran Terurai 1952, kurikulum ini menekankan pada adanya hubungan nyata
antara apa yang diterima di sekolah dengan kehidupan sehari-hari. Selanjutnya
Kurikulum 1964 yang dikenal dengan Program Pancawardhana yakni lima program
pembelajaran yang dipusatkan pada pengembangan moral, kecerdasan,
emosional/artistik, keterampilan dan jasmani. (Heri Indra Gunawan, 2013).
Apapun itu, ini
menunjukkan bahwa peserta didik dan warga sekolah menjadi pelaksana dari sebuah
kurikulum, karenanya kurikulum menjadi bagian penting untuk pembentukan
karakter peserta didik
Aspek kedua, adalah
memperbaiki kompetensi dan kinerja guru. Menurut Barket and Stone dalam Usman
(2001) kompetensi adalah descriptive of qualitative nature or teacher
behavior appear to be entirely meaningful.
Dari definisi ini dapat diartikan bahwa kompetensi dimaksudkan sebagai
gambaran hakikat kualitatif dari perilaku guru yang sangat berarti. Mengapa
sangat berarti? Karena kompetensi adalah kumpulan pengetahuan, perilaku, dan
keterampilan yang harus dimiliki untuk mencapai tujuan. Dari definisi ini dapat
diketahui bahwa kompetensi adalah sejumlah kecakapan baik afektif, sikap maupun
keterampilan yang dengannya seseorang dikatakan mampu melaksanakan sesuatu.
Dalam hubungannya dengan pendidik atau guru maka kompetensi yang dimaksud adalah
kompetensi guru yang diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2015 tentang
Guru dan Dosen. Kompetensi dimaksud adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian,
kompetensi sosial dan kompetensi profesional.
Terakhir, dalam rangka
pendidikan karakter di lingkungan sekolah adalah integrasi dalam budaya
sekolah. Ini dimaksudkan sekolah tidak hanya pada pemuatan kurikulum dalam
bentuk penanaman nilai-nilai karakter lintas mata pelajaran tetapi lebih dari
itu perlunya pembiasaan sehingga menjadi budaya positif dalam hal pendidikan
karakter. Budaya menghormati orang lain yang berbeda suku dan agama, budaya
menghormati orang yang lebih tua (guru), budaya tepat waktu dan tanggung jawab,
budaya antri, religius dan sebagainya.
Guru sebagai pahlawan
penuh dengan tanda jasa, memainkan peran dan posisi yang penting untuk
mencerdaskan anak bangsa. Jadilah guru yang tidak hanya bisa memotivasi, tapi
lebih penting dari itu adalah menjadi guru yang mampu menginspirasi. SELAMAT
HUT PGRI KE-72 dan HARI GURU NASIONAL TAHUN 2017.**
Komentar
Posting Komentar