Oleh
Sholihin
H. Z., M. Pd. I
------------------------------------------------------
Alumni Pascasarjana IAIN Pontianak
------------------------------------------------------
Revolusi mental menjadi agenda
besar bagi pemerintahan saat ini. Meskipun sebenarnya secara substansi, spirit
ini telah digelorakan oleh founding fathers negeri ini, Sukarno-Hatta
bersama tokoh pergerakan lainnya, diteruskan oleh pemimpin berikutnya hingga ke
era sekarang. Tentu dengan secara sadar setiap kepemimpinan ada yang mencari
skala prioritasnya dalam melaksanakan pembangunan di negeri ini. Satu hal yang
harus dicatat adalah bahwa revolusi mental harus selalu digerakkan, bukan hanya
digaungkan. Karena untuk sebuah perubahan sekedar niat saja tidaklah cukup. Dan
manusia, komunitas kecil bahkan untuk lingkungan yang lebih luas lagi tidak
hanya dinilai dari niatnya saja, melainkan juga dari hasil karyanya, sejauh
mana ia terwujud dalam kenyataan.
Membincang revolusi mental sesungguhnya
berarti berbicara tentang karakter bangsa ini dengan segala sumber daya yang dimiliki
baik sumber daya alam (SDA) maupun sumber daya manusia (SDM). Kekayaan alam
yang berlimpah luar biasa, dengan keanekaragamana hayati yang unik di dunia,
dengan jumlah pendudukan terbesar keempat setelah China, India dan Amerika
Serikat dan sebagainya menjadikan negeri ini incaran bagi yang berkepentingan.
Ditambah lagi Bank Dunia mengatakan ekonomi Indonesia sudah masuk 10
besar dunia, jauh lebih awal dari perkiraan pemerintah SBY yang memprediksi
baru terjadi tahun 2025. Di bidang politik, masyarakat sudah banyak menikmati
kebebasan serta hak-haknya dibandingkan sebelumnya, termasuk di antaranya
melakukan pergantian pemimpinnya secara periodik melalui pemilu yang demokratis.
Tetapi kita prihatin jika melihat kualitas SDM negeri ini yang sepertinya
setiap ditontonkan dengan gaya hidup yang serba “wah”, penumpukan kekayaan yang
sangat kentara, penggunaan wewenang dan jabatan yang aji mumpung, belum lagi
kasus korupsi dari orang-orang yang tidak disangka yang menjadi tersangka. Jika
sudah demikian halnya, bukan kekayaan yang melimpah menjadi ukuran keberhasilan
sebuah negeri tetapi sejauh mana human resources mampu berperan aktif.
Rhenald Kasali dalam bukunya Re-Code, Your Change DNA (2007) mengatakan bahwa
perubahan pada dasarnya bukanlah menerapkan teknologi, metode, struktur atau
manajer-manajer baru. Perubahan pada dasarnya adalah mengubah cara manusia
dalam berpikir dan berperilaku.
Mengubah karakter dan
mindset adalah pekerjaan sulit, namun akan selalu ada kesempatan untuk
melakukan itu, sulit bukan berarti tidak boleh dikerjakan, adanya komentar
sinis, meremehkan akan selalu ada. Anjing menggonggong kafilah berlalu,
demikian kira-kira yang menjadi slogan untuk terus berkarya dan berkarya. Adanya
keinginan untuk berubah ke arah lebih baik harus menjadi agenda diri setiap
manusia Indonesia.
Darimana kita memulai?
Konsep 3M yang
dipopulerkan KH. Abdullah Gymnastiar sepertinya tetap relevan untuk diajukan,
perubahan itu harus 1) Mulai dari diri sendiri; 2) Mulai dari hal-hal terkecil
dan 3) Mulai saat ini.
1) Mulai dari diri sendiri
Mengawali dari diri
sendiri tidak dengan menunggu orang lain, menjadi kata kunci keberhasilan
sebuah perubahan yang diinginkan. Bukankah masyarakat kecil terdiri dari
keluarga-keluarga dan keluarga-keluarga terdiri dari individu-individu. Jika
yang ada adalah individu-individu yang tercerahkan, maka terjadinya perubahan
mental dan pola pikir satu saat akan tiba. Jika kita tidak terpancing dengan
kondisi yang ada maka kita tetap menjadi
“emas” di tengah lumpur hitam. Kata yang menarik untuk mendefinisikan “Pemenang
Kehidupan” adalah mereka yang tindakannya tidak dipengaruhi oleh tindakan orang lain kepada kita. Kalau
mereka melakukan hal yang buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang lebih
buruk lagi. Kalau mereka tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau
orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula pemurah tiba-tiba jadi
sedemikian pelit kalau harus berurusan dengan orang itu. Coba renungkan. Mengapa
tindakan kita harus dipengaruhi oleh orang lain? Mengapa untuk berbuat baik
saja, kita harus menunggu diperlakukan dengan baik oleh orang lain dulu? Jaga
suasana hati. Jangan biarkan sikap buruk orang lain kepada kita menentukan cara
kita bertindak! Pilih untuk tetap berbuat baik, sekalipun menerima hal yang
tidak baik.
Ringkasnya “Pemenang kehidupan” adalah
orang yang tetap sejuk di tempat yang panas, yang tetap manis di tempat yang
sangat pahit, yang tetap merasa kecil meskipun telah menjadi besar, serta tetap
tenang di tengah badai yang paling hebat. Perubahan tidak mesti menunggu orang
lain tapi kadang moment dan adanya leader yang menyatukannya. Apatah
lagi jika leader itu adalah kita sendiri dan kita yang menciptakan
momentnya.
2) Mulai
dari hal-hal terkecil
Sebuah kata motivasi menegaskan kepada
kita, setiap langkah yang terus maju selalu diawali dari langkah-langkah kecil.
Orang yang besar tidak dengan sendirinya langsung menjadi besar, salah satunya
karena ia peduli dengan hal-hal yang kecil. Peduli dengan hal-hal yang kecil
dengan tidak mengabaikannya adalah satu
karakter yang penting untuk membuat
perubahan besar.
Gladwell (Rhenald Kasali, 2007:
178) menyebutkan empat kaidah untuk membuat perubahan yang satu diantaranya
adalah Hukum tentang Kegaduhan Suara: Jangan abaikan hal-hal kecil. Teori ini dapat
diilustrasikan dengan kegaduhan dalam kelas saat berlangsungnya proses belajar
mengajar. Jika ada satu dua siswa yang bicara tidak terarah atau gaduh tanpa
dipedulikan oleh gurunya, maka suara gaduh itu akan bertambah banyak karena
siswa yang membuat gaduh pertama kali tidak dihiraukan dan diabaikan oleh guru,
akhirnya memancing kegaduhan lainnya. Langkah preventifnya adalah jika telah
kedengaran satu atau dua siswa yang tidak terarah dan gaduh, maka sebaiknya
untuk segera ditangani. Banyak orang orang yang tidak menyadari bahwa setiap
kerusakan nilai selalu dimulai dari hal-hal kecil. Mulai dari hal-hal terkecil
akan membuat kita terbiasa menata yang lebih besar.
3) Mulai saat ini
Mario
Teguh pernah berujar, gejolak untuk menunda pekerjaan itu lebih besar dari
hasrat untuk segera melakukan sebuah pekerjaan. Dan itulah permasalahan
terbesar bagi orang yang terbiasa menunda pekerjaan. Keinginan kita berbuat
baik kadang dikalahkan oleh sikap kita yang menunda-nunda, nantilah,
kapan-kapan saja, itulah kata-kata yang sering diucapkan bagi orang yang
terbiasa menunda. Bagaimana jika itu juga menjadi kebiasaan kita tatkala bicara
kematian? Dalam konteks dengan revolusi mental, sikap ini jelas sikap yang tidak
efektif untuk menyongsong dan menyikapi globalisasi. Tidak ada kata lain, jika
ingin terjadi pencerahan bagi kita, maka mulailah saat ini. Waktu yang 24 jam
sehari semalam, dengan potensi yang ada, jika di sekolah, siswa diberi waktu
belajar yang sama, dengan mata pelajaran yang sama, dengan guru yang sama,
dengan kurikulum yang sama, mengapa hasil akhirnya beda? Salah satunya adalah
karena adanya warga sekolah yang tidak ingin menunda-nunda sebuah pekerjaan.
Mudah-mudahan
bermanfaat**
___Dimuat di Harian Suara Pemred, 7 Juni 2016____
Komentar
Posting Komentar