Ramadhan Ditengah Kita, Bagaimana Kualitas Ramadhan Kita?

Oleh Sholihin HZ** (Ketua PC Pergunu Kota Pontianak) Kita sekarang sedang berada di bulan yang penuh dengan kemuliaan. Berbagai penamaan diberikan kepada bulan ini. Semoga kemuliaan Ramadan dapat kita iringi dengan peningkatan amal kebaikan baik hubungannya dengan Al Khaliq (hablun minallah) maupun komunikasinya dengan makhluk (hablun minan nas). Sampai hari ini, bagaimana kita merasakan Ramadan? Apakah tetap semangat, atau biasa-biasa saja atau malah "tersiksa?". Rugi, bagi mereka yang melihat Ramadan sebagai bulan yang biasa. Rugi bagi mereka yang menganggap Ramadan tidak beda dengan bulan-bulan lainnya. Term ‘Ramadan’ disebutkan dengan jelas dalam QS. Al Baqarah/ 2: 185. Diantara peristiwa yang mengiringi kemuliaan Ramadan sebagaimana dikutip dalam buku 11 Renungan Sains (2016: 27) sebagaimana hadits riwayat Ahmad dalam al Musnad 4/107 bahwa Rasulullah SAW bersabda: Shuhuf Ibrahim diturunkan pada malam pertama Ramadan; Taurat diturunkan pada 7 Ramadan, Injil diturunkan pada 14 Ramadan, Zabur diturunkan pada tanggal 19 Ramadan dan al Quran diturunkan pada 25 Ramadan (penekanan penulis mengutip hadits ini adalah fokus pada bulan Ramadannya bukan pada tanggal diturunkannya al Quran mengingat ada beberapa pendapat mengenai tanggal diturunkannya al Quran). Saudaraku, menuju 20 hari kedua Ramadan, perlu kiranya kita muhasabah dan mengaca diri terkait dengan apa yang sudah kita lakukan di 10 hari pertama. Tulisan ini semata menggugah psikis dan nurani kita bahwa ketika kita bangun tidur dan bersamaan dengan itu kita masih mendengar senandung sholawat, ayam berkokok dan lantunan muazzin, berarti Allah SWT masih memberikan kesempatan kepada kita untuk beramal. Beramal sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Tugas kita perbanyak amal tapi DIA yang menilainya. Tugas kita taburkan kebaikan kapan dan dimanapun tapi DIA yang menilai. Tugas kita penuhi apa yang menjadi perintah dan larangannya dan DIA yang menilai. Sebagaimana doa yang kita panjatkan bukanlah untuk mendikte DIA tapi karena DIA yang menyuruh kita untuk berdoa. Semakin banyak kita berdoa sebagai bentuk ketundukkan atas perintahnya maka akan membuat kasih sayang-Nya bertabur untuk makhluk-Nya. Bukankah DIA ingin tempat ketergantungan kita hanya pada-Nya. (Qs. 112: 2). Semakin berjalan hari-hari Ramadhan bermakna semakin dekat akhir Ramadan, ini hukum logika. Tapi sejauh mana taburan kebaikan sudah kita sebarkan sebagai hakikat dari gembira dengan datangnya Ramadan? Hitung sholat isya, tarawih, witir dan subuh kita dan sholat lainnya selama Ramadan apakah pernah tertinggal. Introspeksi kedekatan kita dengan al Quran apakah sering, jarang atau biasa-biasa saja dalam berinteraksi dengan al Quran, bagaimana dengan rasa peduli kita, banyakkah sudah kita berbagi makanan-minuman, uang dan bantuan lainnnya untuk sekitar kita atau justru biasa-biasa saja seperti bulan lainnya. Sejauh mana getaran hati kita kala mendengar musibah anak kecil yang ditinggal meninggal oleh orang tuanya, bergetarkah hati kita kala mendengar lantunan ayat-ayat suci Al Quran atau tidak ada getar sama sekali. Sebenarnya tidak terlalu sulit untuk mengukur keimanan kita, salah satunya adalah bagaimana suasana hati kita manakala ada kebiasaan baik kita yang tidak kita lakukan atau tanpa sengaja ketinggalan amalan rutin, jika terasa ada yang hilang maka itulah sinyal keimanan dan harus di-charge namun jika suasana hati kita biasa-biasa saja saat meninggalkan ketaatan berarti temperatur keimanan kita sudah mulai turun. Untuk yang terakhir ini, bergaul dengan orang-orang saleh menjadi salah satu trik untuk menjaga temperatur keimanan kita. Teman yang baik adalah teman yang mendorong kita untuk istiqamah dan ketaatan kala kita berada di jalan kebaikan dan mengingatkan kita untuk kembali ‘ke jalan yang lurus’ manakala kita mulai melupakan-Nya. Seyogyanya orang yang gembira dengan datangnya Ramadan maka ia akan menyiapkan segala sesuatu terkait dengan wujud kegembiraannya, hanya sayang wujud kegembiraan kita masih cenderung pada hal yang sifatnya fisik dan materi. Rumah dicat baru, pakaian serba baru, alas meja dan ruang tamu didekorasi sebaik mungkin namun terkait pengolahan jiwa dan semangat Ramadan yang diisi dengan ketaatan mengalami penurunan. Menjadi pemandangan rutin manakala empat hingga lima hari awal Ramadan, masjid penuh sesak dengan jamaah namun setelah itu akan kembali kepada jamaah semula yang istiqamah. Disini
lah letak ujian keimanan kita. Banyak yang sukses mengawali Ramadan namun mundur teratur ketika memasuki hari-hari berikutnya. Ternyata yang paling mahal dan berat dalam beramal adalah istiqamah. Semoga kita menjadi hamba-hamba-Nya yang istiqamah. *(1706). ------

Komentar

Postingan Populer