Gelar*
Disadari atau
tidak, sesungguhnya selama hidup kita memiliki gelar. Gelar muncul bisa
dikarenakan karakter yang mendominasi atau kondisi hidup kesehariannya (si
pelit, tuan kaya), gelar bisa lahir karena asbab pekerjaan yang ditekuni (kutu
buku, bujang ayam_karena profesinya menjual ayam), gelar juga bisa dikenal berdasarkan
status sosial dan pendidikan (sarjana, master dan seterusnya). Dengan demikian gelar
dapat dimaknai sebagai personal branding (stigma) pada seseorang yang
melekat padanya.
Apakah gelar
ini selamanya menempel pada orang tersebut? Tentu tidak, dikatakan tidak jika
profesi itu tidak lagi ditekuninya, disebut tidak jika tingkat pendidikannya
semakin tinggi. Karena gelar, seseorang bisa merasa rendah diri namun tidak
sedikit seseorang merasa bangga bahkan arogan karena gelar juga. Seseorang yang
berpendidikan tamat SD atau SMP akan merasa agak gimana gitu saat berada
di lingkungan alumni perguruan tinggi (meskipun ada juga yang tidak karena self
confidence tinggi). Banyak contoh lain yang bisa kita maknai dalam kehidupan
ini.
Di sisi lain,
gelar juga menjadi bahan rebutan bagi orang-orang yang berkepentingan. Sehingga
untuk mendapatkan gelar tersebut ada yang dengan menggunakan metode 3 H
(Halal-Haram-Hantam), tidak kenal aturan, pokoknya gelar harus diraih, entah
dengan plagiator, entah dengan menipu, entah dengan ijazah dan gelar hoax.
Bahkan terjadinya perebutan kekuasaan dalam sejarah kemanusiaan juga tidak bisa
dilepaskan dari rebutan gelar ini. Ternyata gelar bisa membuat siapapun tertipu,
karena gelar ia mendapatkan fasilitas, karena gelar ia dihormati, karena gelar
ia diberikan kemudahan.
Namun, kala
disisi lain ada orang yang memburu gelar untuk mendapatkan sejumlah
penghormatan, kadang kita temukan orang yang justru bersikap sebaliknya, jika
awalnya ia berusaha meraih gelar namun kala gelar itu sudah diraihnya malah menjadi
beban dan membuat ia stress. Tidak sedikit orang yang seharusnya gelarnya
menjadi pemacu dan benteng bagi dirinya dari hal-hal yang tidak baik justru
membuatnya semakin tidak PD (percaya diri), sehingga seseorang dengan gelar yang
ada ia malah menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Bagaimana kita menyikapi
kondisi demikian, yang pertama tentu kita husnuzh zhan bahwa sikap yang
demikian sebagai cara menjaga supaya ia tidak pamer dengan gelar yang ada, ia
tipe manusia jagung dan bukan tipe manusia jambu monyet. Isi jagung tertutup
rapat namun ketika dibuka penuh dengan isi, lain dengan jambu monyet yang hanya
satu tetapi ditunjukkan kemana-mana, demikiran kira-kiranya memaknainya. Akan
menjadi persoalan dan ini menjadi pertimbangan kedua bahwa gelar yang didapat
hendaknya dilihat sebagai upaya mengisi hati dan sikap dengan apa yang dipredikatkan
kepada kita. Sederhananya, ada orang dengan tipikal yang tidak PD dengan gelar
yang ada, bukan untuk pamer-pameran tapi bahwa ia menjadi “manusia sedikit”
yang mampu meraih pendidikan tinggi. Itulah harapan sosialnya.
Untuk yang
terakhir, menarik untuk dicermati bahwa orang dengan tipikal semacam ini harus
dibangun kepercayaan dirinya, terima atau tidak, bahwa gelar itu sudah melekat
padanya apalagi gelar itu merupakan gelar yang diperoleh melalui proses
pendidikan formal (s1, s2, s3). Gelar, bagi orang ini adalah beban, adalah
tekanan sehingga bukan tidak mungkin membuatnya menutup diri di tengah lingkungan
yang membuka diri. Pola pikir semacam ini menjadi perbincangan sosial di tengah
masyarakat yang memerlukan keberadaannya. Seseorang yang mendapat gelar baik
secara formal maupun non formal, hendaknya diartikan sebagai cara untuk
memfokuskan diri kepada apa yang menjadi bagian keilmuannya. Seseorang yang
digelar kiyai dan gelar spiritual lainnya, setidaknya memilikinya ilmu agama yang
memadai dan bahkan lebih, jika belum, maka banyak kesempatan untuk meraihnya dengan
menuntut ilmu, seseorang yang disebut ahli ekonomi bermakna ia menjadi orang
yang kompeten manakala bicara tentang ekonomi dan seterusnya.
Pada
akhirnya, gelar yang disandangkan pada siapapun hendaknya menjadikan ia manusia
yang mampu mencerahkan sekelilingnya, menjadi inspirasi bagi manusia lain, gelar
adalah bentuk kepercayaan sosial pada orang tersebut. Hidup adalah meninggalkan
jejak-jejak langkah, dan meninggalkan jejak yang positif bermakna memberi gelar
yang baik bagi orang yang bersangkutan. Bukankah hidup dan mati adalah ujian
supaya kita terdorong untuk berbuat agar meninggalkan ahsanu amalan?
Semoga*
*Penulis, Guru MAN 2 Pontianak
Komentar
Posting Komentar