Tiga Motivasi Beribadah

Filsuf Muslim Abu 士Ali al-岣sayn ibn 士Abd Allah ibn Sina atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Sina membagi motivasi beribadah menjadi tiga hal.

Pertama, motivasi ala pedagang. Seseorang beribadah karena didorong oleh keuntungan timbal balik dari sesuatu yang ia keluarkan. Ia menunaikan shalat, puasa, zakat, bersedekah, menolong sesama, atau lainnya dengan penuh pengharapan bahwa balasan surga kelak ia dapat. Alasan seseorang rela berlapar-lapar puasa di alam fana ini adalah sebab di akhirat nanti ia bakal kenyang; susah-susah bangun malam untuk sembahyang tahajud sebab ia tahu ada kelezatan yang bakal diperoleh dari jerih payah itu. Segenap ibadah di dunia pun menjadi semacam modal dan aktivitas perniagaan, dengan kenikmatan surgawi sebagai laba yang diidam-idamkan. Logikanya, siapa yang berinvestasi maka akan menuai hasilnya. Siapa yang menanam, akan memanen. 

Dan Al-Qur’an sendiri di beberapa tempat mengabarkan bahwa siapa pun yang beriman dan berbuat baik akan mendapatkan surga. Bahkan janji itu dideskripsikan dengan mengambil kiasan surga yang berisi sungai-sungai mengalir, buah-buahan, juga bidadari. Ini adalah gambar dari keuntungan yang bakal diperoleh bagi orang-orang yang bersusah payah mengisi kehidupan dunia yang sementara ini dengan iman dan amal shalih.

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Ya kedua adalah motivasi ala budak atau buruh. Kata kunci dari dorongan beribadah ini adalah ketakutan. Seorang hamba menjalankan ibadah kepada Allah karena dibayang-bayangi ancaman akan siksaan api neraka. Bak seorang buruh yang takut majikannya, ia menunaikan tugas dalam rangka menghindari penderitaan di kehidupan kelak.

Orang dengan motivasi ini biasanya beribadah untuk sekadar lepas status sebagai hamba durhaka. Adzab-adzab yang dipaparkan dalam kitab suci menjadi pemicu kuat mengapa ia harus melakukan “ini” dan menghindari “itu”. Baginya manusia sudah terlanjur diciptakan dan kini manusia harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Konsekuensi dari pelanggaran atas kewajiban tersebut sudah sangat jelas, yakni siksa api neraka.

Yang ketiga adalah motivasi orang ‘arif (mengenal Allah). Bagi orang jenis ini, beribadah adalah sebuah keniscayaan setelah menyaksikan betapa dahsyatnya karunia yang Allah berikan kepada alam semesta ini; setelah menghayati kebijaksanaan dan kemahasempurnaan Allah kepada makhluk-makhluknya. Karena itu, yang menonjol dalam ibadah mereka adalah keikhlasan yang mendalam. Bukan kenikmatan surgawi yang ia buru. Ia juga tidak risau kalaupun harus ditempatkan di neraka. Bahkan orang-orang seperti ini umumnya merasa tidak layak menerima ganjaran surgawi lantaran rasa fakirnya di hadapan keagungan Allah subhanahu wata’ala. Sebab yang paling penting bagi mereka adalah menunaikan ibadah sebagai sebuah keharusan, urusan ditempatkan di mana saja adalah hak prerogatif Allah. Allah memiliki kekuasaan penuh atas keputusan untuk hamba-Nya yang dla’if itu.

Tipe yang terakhir ini mengingatkan kita kepada kisah seorang ulama sufi kenamaan Fudlail ibn 'Iyadl. Dalam kitab Raudlatuz Z芒hid卯n ‘Abdul-Malik ‘Al卯 al-Kalib diceritakan, suatu hari ia berkata, "Seandainya saya diminta memilih antara dua hal, yakni dibangkitkan lalu dimasukkan surga atau tidak dibangkitkan sama sekali, saya memilih yang kedua."

(Baca: Malu Masuk Surga)

Fudlail malu. Ia merasa tak pantas menerima ganjaran pahala seandainya ia memang mendapatkannya. Tentu beliau bukan sedang ingkar terhadap surga dan kebahagiaan di dalamnya. Gejolak jiwanya lah yang mendorongnya bersikap semacam itu. 

Kecintaan Fudlail yang memuncak kepada Tuhannya menghilangkan angan-angan akan pamrih apa pun. Kebaikan yang ia lakukan tak ada bandingnya dengan anugerah-Nya yang melimpah. Bahkan kesanggupannya berbuat baik sesungguhnya adalah secuil dari anugerah itu sendiri.

Suatu hari seorang laki-laki datang dan bertanya kepada Fudlail ibn ‘Iy芒dl, “Wahai Abu Ali, kapan seseorang mencapai tingkat tertinggi cinta kepada Allah ta'ala?"

"Ketika bagimu sama saja: Allah memberi ataupun tidak. Saat itulah kau di puncak rasa cinta," jawab Fudlail.

Sebagaimana manusia, surga dan neraka adalah makhluk. Fudlail berpandangan, Allah adalah hakikat tujuan hidup. Hal ini tercermin dalam tafsirnya terhadap kalimat “Inn芒 lill芒hi wa inn芒 ilaihi r芒ji‘没n". Kita semua hamba Allah, dan kepada-Nya pula kita kembali. Kehambaan yang total membuahkan kesadaran bahwa diri ini tergadai hanya untuk memenuhi permintaan Sang Tuan. Tulus murni tanpa berharap imbalan sedikit pun.

Jamaah shalat jum’at rahimakumullah,

Sudahkah kita beribadah dengan baik dalam kehidupan yang singkat ini? Kalaupun sudah beribadah, di posisi manakah kita di antara tiga motivasi tersebut? Apakah kita beribadah karena ingin mengejar kenikmatan, menghindari siksaan, atau karena kesadaran diri yang penuh sebagai hamba sejati?

Ketiga motivasi tersebut tentu tidak ada yang salah karena seluruhnya mendapat pembenaran dalam Al-Qur’an. Hanya saja, motivasi terakhir adalah motivasi yang paling menunjukkan kedewasaan seseorang sebagai hamba. Ia tak terlalu disibukkan dengan iming-iming kelezatan atau ancaman penderitaan layaknya kanak-kanak saat mematuhi perintah atau larangan orang tuanya.

Komentar

Postingan Populer