Kesalehan Sosial

TRIBUNNEWS  — Pertama, sifatnya sangat pribadi (private) tujuan akhirnya adalah untuk mendekat dan menyatu dengan Tuhan dengan jalan mensucikan diri, menjauhkan pikiran, ucapan dan tindakan yang tidak terpuji.
Kedua, dimensi eksoteris, yaitu dimensi dan implikasi lahir  bahwa orang beragama dituntut untuk melaksanakan perintah agama dengan baik, terukur dan dapat diamati, yang tujuan akhirnya untuk membentuk karakter dan kepribadian mulia sehingga perilaku keberagamaan seseorang mendatangkan manfaat dan kebaikan bagi sesama manusia. Dengan demikian, dimensi iman selalu mengasumsikan munculnya kesalehan sosial.
Dalam tradisi Kristiani kedua dimensi ini disimbolkan dengan “salib”, yang satu ke arah vertikal,  yang lainnya horisontal. Dalam Islam, dituangkan dalam frase: “hablun minallah, wa hablun minannaas”. Mendekat dan berbakti pada Tuhan harus juga membuahkan kebaikan dan pelayanan pada sesama manusia.
Dalam Al-Qur’an terdapat isyarat bahwa manusia memiliki lima tingkat eksistensi dan perkembangan. Pertama, manusia ditopang oleh daya minerality. Kita tercipta dari tanah dan suatu saat kelak ketika mati elemen tanah itu akan kembali menyatu dengan tanah. Jadi secara fisik keberadaan kita berbagi dengan keberadaan batu, pasir dan benda lain di sekitar kita.
Kedua, dalam diri kita juga terdapat daya dan jiwa nabati. Pada level ini aktivitas yang paling utama adalah makan, minum dan tumbuh. Kalau nutrisi  yang diperlukan cukup, maka organ-organ tubuh kita akan tumbuh subur dan bekerja dengan baik.
Level ini sangat mencolok terutama pada anak kecil yang tengah mengalami fase pertumbuhan. Ketika kita makan dan minum, sesungguhnya kita tengah memenuhi tuntutan jiwa nabati kita agar tetap sehat.
Ketiga, manusia juga dianugerahi jiwa dan daya hewani. Daya ini terutama ditopang oleh kekuatan panca indra. Dalam hal aktivitas indrawi, lagi-lagi, manusia dan hewan banyak sekali memiliki kemiripan. Yang paling menonjol dari tuntutan indrawi adalah untuk mendapatkan pleasure. Oleh karenanya, hidup yang hanya mengejar dan memanjakan physical pleasure, tak ubahnya dengan kehidupan hewani.
Pada tahap ini kehidupan sudah sangat meriah. Gabungan antara jiwa nabati dan hewani telah memungkinkan terjadinya proses reproduksi dan regenerasi. Kompetisi dan mengejar sexual pleasure merupakan salah satu ciri kehidupan hewani yang disenangi manusia.
Namun jika hidup hanya mengutamakan jiwa nabati dan hewani, maka peradaban tak akan berkembang, karena hewan tidak mampu menciptakan kehidupan baru dengan keluar dari instingnya. Contoh paling nyata adalah teknologi rumah yang diciptakan hewan, dari dulu tak pernah berubah. Dengan kata lain, hewan merupakan ciptaan Tuhan yang sudah selesai, tak akan ada perkembangan dan inovasi baru yang akan mereka ciptakan.
Keempat, tahapan jiwa insani. Pada tingkat eksistensi ini yang paling menonjol adalah kapasitas manusia untuk berpikir dan berefleksi dengan kekuatan akal yang diberikan Tuhan. Dengan akalnya manusia mampu mengambil jarak dan bahkan keluar dari dunia hewani dan nabati untuk membangun dunia simbolik, sebuah dunia makna yang tidak bisa dilakukan oleh hewan.
Rasa seni, sikap kritis, rasa moral dan kreativitas merupakan ciri utama dari kapasitas jiwa insani yang telah membuka jalan bagi berbagai kemajuan dan inovasi ilmu pengetahuan yang sulit diprediksi batas akhirnya. Karena kekuatan jiwa insani ini maka peradaban berkembang. Berbagai lembaga pendidikan dan pusat-pusat industri dibangun. Beragam karya seni tumbuh karena kekuatan daya ini.
Namun setiap perkembangan dari tahap ke tahap selalu menuntut usaha  dan perjuangan, bahkan sering akan menghadapi jebakan. Manusia seringkali lebih cenderung untuk lebih memanjakan tuntutan jiwa hewani sehingga naluri hewani yang mestinya dikendalikan oleh akal sehat, yang terjadi bisa sebaliknya.
Dengan kecerdasannya  manusia bisa tergelincir hanya melayani tuntutan naluri hewani yang hanya mengejar physical pleasure. Perebutan dan eksploitasi sumber daya alam yang telah merusak lingkungan dan menimbulkan sengketa merupakan salah satu ekspresi naluri hewani yang lebih dominan daripada jiwa insani.
Kelima, manusia juga dianugerahi daya ruhani yang bersifat spiritual. Kekuatan spiritual inilah yang mampu menghubungkan manusia dengan Tuhannya untuk mendapatkan pesan suci (divine messages) sebagaimana yang dialami oleh para nabi.  Karena ruhani bersifat fitri dan suci maka ia selalu mengajak pada kesucian.
Karena ruhani merupakan cahaya dari Tuhan Yang Maha Baik, Maha Benar dan Maha Indah, maka ruhani selalu mengajak pada kebaikan, kebenaran dan keindahan. Jiwa dan daya ruhani inilah yang mestinya memimpin jiwa-jiwa dibawahnya, sehingga peradaban yang dibangun oleh manusia semakin naik kualitasnya, semakin  cerdas dan bermoral bukannya terjatuh dikendalikan oleh nafsu-nafsu hewani.
Menarik direnungkan, ajaran agama dibangun oleh para Rasul Tuhan yang hidup ribuan tahun yang lalu, sebelum jumlah manusia sebanyak hari ini dan perkembangan ilmu pengetahuan belum semaju sekarang.
Secara hermeneutic, kita bisa menyimpulkan bahwa sebelum manusia dengan kekuatan jiwa nabati, hewani dan insani menggubah dunia dan membangun peradaban, Tuhan lebih dahulu mengirim para Rasul-Nya untuk meletakkan fondasi moral-spiritual  berupa ajaran agama yang bersifat abadi untuk membimbing dan mendampingi perjalanan hidup manusia.
Pesan dasar agama yang berkaitan dengan moral-spiritual sejak dahulu sampai sekarang  sifatnya simple, universal, tidak berubah. Kalau saja prinsip ini dijaga bersama maka hubungan antar manusia dan antar pemeluk agama berjalan lebih baik. Konflik sosial muncul seringkali disebabkan oleh perselisihan dalam menafsirkan dan melaksanakan prinsip keadilan ekonomi dan politik. Dan  ketika politik meninggalkan pesan moral-spiritual, maka peradaban manusia akan terjatuh pada kehidupan level hewani, homo-homini-lopus.
Jika kita konstruksikan perkembangan dan piramida peradaban manusia, maka secara historis akan terlihat bahwa fondasi awal yang dibangun oleh para nabi adalah landasan moral-spiritual. Fondasi ini dianggap telah selesai, sebagaimana telah berakhirnya kenabian. Tuhan telah mempercayakan pada evolusi kematangan dan otonomi manusia untuk membangun peradaban di muka bumi berlandaskan warisan luhur para nabi, namun tanpa intervensi mereka.
Sebagai master piece dan mandataris Tuhan, manusia diberi akal yang sangat hebat, namun dengan kehebatannya itu muncul dua kemungkinan. Pertama, manusia bisa merasa sangat otonom dan tidak lagi butuh Tuhan dan tidak memberi ruang pada agama karena sudah cukup dengan kekuatan nalarnya untuk mengatur dan menyelesaikan semua persoalan hidupnya.
Kedua, dengan nalarnya yang hebat dan dipandu oleh kesadaran spiritualnya itu maka manusia akan beriman, mengagumi kebesaran Tuhan dan mensyukuri  segala anugerahnya yang melimpah. Semoga kita semua termasuk golongan yang kedua ini.
Komaruddin Hidayat
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Komentar

Postingan Populer