Shilah dan Rahim, Sebagai Pondasi Membangun Umat (Opini)

Dalam sebuah hadits yang dimuat dalam Musnad Imam Ahmad, termaktub hadits Rasulullah SAW yang memuat tentang adanya tiga larangan dan satu perintah. Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad ini menyatakan tentang larangan atau perbuatan yang hendaknya jangan dilakukan dan satu perintah yang harus menjadi perhatian dan dijaga. Disebutkan, “Janganlah kalian saling memutus tali kekerabatan, saling benci, saling dengki dan jadilah hamba Allah yang bersaudara”. Redaksi yang digunakan adalah la taqatho’u (janganlah kalian saling memutus tali kekerabatan), la tabaghadhu (saling benci) dan la tahasadu (saling dengki). Redaksi dari larangan pertama secara bahasa bermakna memotong atau memutus. Dimaksudkan adalah larangan memutus tali kekerabatan. Bahkan orang yang memutus kekerabatan adalah orang yang kelak di akhirat tidak akan dipandang oleh Allah SWT dengan pandangan kasih sayang. Hubungan kekerabatan sebagai pertalian sedarah dikenal dengan shilaturrahim. Dua kata yang terdiri dari shilah dan rahim. Shilah bermakna menyambung atau connect, sementara rahim memiliki makna kasih sayang, ada yang memaknai rahim sebagai pertalian sedarah. Hemat penulis, kedua pengertian shilah dan Rahim memiliki keterkaitan dengan pemaknaan dengan asbab pertalian sedarah maka timbullah kasih sayang sebagai keluarga satu darah. Jika dibawa ke dalam pengertian lebih luas, maka sesungguhnya kita adalah bersaudara sebagai sesama bani (anak-anak) Adam. Karenanya shilaturrahmi menjadi pengikat semua manusia dengan landasan kasih sayang karena berasal dari nenek moyang yang sama. Bagaimana dengan menjalin kasih sayang yang tidak memiliki pertalian darah. Disinilah makna ukhuwah sebenarnya. Menurut M. Quraish Shihab (http://ejournal.kopertais4.or.id/madura/index.php/alqorni/article/view/4502) dalam tafsir tematiknya menyatakan bahwa ukhuwah bukan hanya saudara seibu, seayah ataupun seketurunan akan tetapi kesamaan unsur suku, bangsa, agama serta setanah air agar terciptanya ketenteraman dan keharmonisan dalam hubungan manusia. Dengan demikian dapat difahami bahwa shilaturrahmi adalah menyambung tali kekerabatan baik yang sedarah dan jika diperluas maknanya maka terkandung ukhuwah di dalamnya bahwa persaudaraan karena sesuku, sebangsa dan seterusnya. Dari konsep ini kemudian dikenal term ukhuwah wathoniyah (sebangsa) dan basyariyah (sesama manusia). Bahkan termasuk ciri orang yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir adalah menyambung shilaturrahmi yang didalamnya terkandung makna ukhuwah. Sikap berikutnya yang harus dihindari adalah la tabaghadhu (saling benci). Sebuah ungkapan menarik, orang yang membencimu berarti anda menjadi person yang terekam dalam ingatan mereka. Orang yang dighibah adalah menjadi penerima transfer pahala kebaikan. Imam Ali bin Abi Thalib pernah berujar, “Cintailah kekasihmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi musuhmu. Dan bencilah musuhmu sekedarnya saja, siapa tahu nanti akan jadi kekasihmu.” Selanjutnya kalimat la tahasadu (saling dengki), dengki sangat berpotensi memutus kekerabatan. Kedengkian atau hasad bisa karena dengki dengan nikmat orang lain dengan disertai ungkapan hati semoga nikmatnyapindah kepadaku, tingkatan yang paling parah (akut) adalah meskipun aku tidak mendapatkan nikmat seperti dia tapi kuharapkan nikmat itu hilang darinya. Sama-sama tidak mendapatkan nikmat. Teks hadit terakhir ditutup dengan jadilah hamba Allah yang bersaudara. Tiga larangan di atas bisa memperkeruh jalinan keakraban yang sudah terbangun bahkan bisa memutus shilaturrahmi yang ada. Demikian juga, manakala kita mampu menipiskan bahkan menghilangkan akhlak sayyiah tersebut (putuskan shilaturrahmi, benci dan dengki) maka bangunan persaudaraan akan semakin kokoh. Jika semangat persaudaraan sudah terbangun maka akan ada kesamaan visi, jika sudah terjalin kesamaan visi maka akan terformulasi dalam jalinan persatuan yang saling menguatkan. Disinilah makna sungguh mukmin yang satu dengan mukmin yang lain seperti sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lain (HR. Bukhari no. 481). Tradisi masyarakat Indonesia yang memeriahkan bulan syawal dengan halal bihalal adalah dalam rangka menjaga nilai-nilai luhur ini, nilai yang sesungguhnya sudah diajarkan dan dipesankan oleh Rasulullah SAW. Beda pandangan dan kajian sejatinya tidak menghalangi untuk ‘ngopi bareng’ dan canda tawa. Jangan sampai hanya karena beda hal-hal furu’ (cabang) menyebabkan shilaturrahmi ikut merenggang dan menjauh. Persaudaraan dengan asas kebersamaan akan terasa lebih indah. Ketika ada yang merenggangkan maka usaha untuk merekatkan harus lebih digencarkan. Semoga.* Penulis adalah Ketua Komisi Ukhuwah Islamiyah MUI Kalimantan Barat

Komentar

Postingan Populer