Spirit Kebangsaan sebagai Spirit Sumpah Pemuda
Oleh Sholihin H.Z. (Guru MAN 2 Pontianak)
Azkia Alawy (2010) dalam sebuah tulisannya ‘Pendidikan
Indonesia Pada Masa Penjajahan Belanda’ mengemukakan bahwa salah satu perubahan
sikap penjajah Belanda terhadap wilayah jajahannya (baca: Indonesia) berawal
dari sebuah tulisan Van Deventer tahun 1899. Van Deventer adalah salah seorang
dari kaum intelektual Belanda yang membuat artikel dengan judul “Een
Eereschuld” (utang kehormatan) yang dimuat di Majalah De Gids. Tulisan
ini memaparkan ketimpangan sosial dengan kebijakan eksploitatifnya, juga
mempertanyakan slogan dari Pemerintah Hindia Belanda yang menyebutkan dirinya
sebagai pemerintahan yang humanis dan menghormati nilai-nilai kemanusiaan serta
memiliki peradaban tinggi tetapi kenyataannya justru mengeruk kekayaan dan
mengambil keuntungan secara besar-besaran dengan sistem tanam paksa dan sistem
liberal di daerah jajahan.
Pengaruh tulisan ini ternyata luar biasa yakni
dengan adanya perubahan kebijakan pemerintahan Belanda yakni dengan
dicanangkannya politik etis atau politik
balas budi pada tahun 1901 oleh Ratu Belanda.
Meskipun telah dicanangkannya politik etis ini,
program yang ada tetap diusahakan untuk mempertahankan wilayah jajahan dan untuk
mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya.
Telah disebutkan, politik etis mencanangkan
tiga program yang ternyata memberikan nilai plus bagi masyarakat Indonesia pada umumnya. Tiga
program tersebut adalah peduli bidang pendidikan, migrasi (perpindahan
penduduk) dan irigasi (pengairan). Burhan D. Magenda (dalam Pilihan Artikel
Prisma, 1991: 129) menyebutkan bahwa politik etis dengan program
pendidikannya meskipun tujuannya adalah untuk memperoleh tenaga-tenaga menengah
lokal yang diperlukan untuk perluasa ekoomi kolonial ternyta mengandung
benih-benih kontradiksi dan menjadi sumber munculnya tokoh-tokoh geraan
kemerdekaan. Mahasiswa khususnya merasakan adanya noblesse oblige untuk
memperjuangkan nasib asyarakatnya yang tertindas. Noblesse oblige adalah
satu rasa dan sikap yang mencerminkan keadaan jiwa seseorang atau kelompok yang
harus diwujudkan dalam bentuk aksi. Contohnya jika ada seorang yang mengaku
mulia maka harus bertingkah laku mulia. Jika anda adalah mahasiswa maka
tunjukkan sikap sebagai seorang mahasiswa.
Tanpa disadari sebagai akibat yang “tidak disengaja” dari politik etis ini adalah bangkitnya kesadaran kaum intelektual nasionalis yang merupakan hasil didikan lembaga-lembaga formal Belanda. Munculnya semangat kebangsaan di bawah tekanan penjajah menjadikan semangat ini terus mengkristal dan ringkasnya pemuda dengan semangat kebangsaannya. Kaum terpelajar atau golongan intelektual ini kemudian mendirikan organisasi-organisasi sebagai media perjuangan membebaskan negeri dari penjajahan. Antara lain adalah organisasi Studieclub dan organisasi-organisasi pergerakan nasional seperti Budi Oetomo, sarekat Islam,Indische Partai, PNI, dll. Tri Karyanti (dalam ‘Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Indonesia’_Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Indonesia - Universitas AKIwww.unaki.ac.id › ejournal › index.php › article › view
. Ada tiga studieclub yang memiliki peran penting dalam pergerakan nasional yaitu perhimpoenan Indonesia merupakan organisasi mahasiswa Indonesia yang sedang menempuh pendidikan di Belanda. Para anggota studieclub ini setelah pulang ke Indonesia melanjutkan perjuangannya melalui organisasi studieclub maupun organisasi yang lain. Di Surabaya berdiri Indonesische Studieclub yang didirikan oleh Soetomo setelah pulang dari Belanda, sedangkan di Bandung juga berdiri Algemeene Studieclub yang dipimpin oleh Soekarno, Soenario, Anwari dan Ishaq Tjokrohadisoerjo.
Dari ‘Kedaerahan’ ke ‘Kebangsaan’
Pemuda dimasanya telah memerankan diri
sebagai policy maker dalam arti mengatur urusan mereka sendiri. Negeri
ini harus diatur oleh masyarakat itu sendiri. Indonesia harus dikelola oleh
orang-orang pilihan yang peduli kepada kejayaan negeri. Rahmat (ibid,-) menyebutkan
rangkaian kejadian selama periode 1908-1945 merupakan mata rantai yang secara
keseluruhan menunjukkan semangat nasionalisme pada rakyat Indonesia.
Semangat persatuan dari Kongres Pemuda
I mengilhami Kongres Pemuda II tanggal 27-28 Oktober 1928 yang diselenggarakan
oleh Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI) yang didirikan tahun 1926 di
Jakarta, Kongres ini menghasilkan Sumpah Pemuda yang isinya: 1. Kami putra dan
putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu tanah air Indonesia. 2. Kami
putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu bangsa Indonesia. 3. Kami
putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Dri semangat kedaerahan, spirit
sektoral kemudian menggulung dan menyatu menjadi kekuatan kebangsaan yang
kemudian menjadi sejarah emas hingga
hari kiamat bahwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah cerminan dari
tekad dan ikrar para pemuda, pelajar dan mahasiswa. Tidak membeda-bedakan suku,
pulau, dan organisasi karena tekad ingin bersatu untuk merebut kemerdekaan dari
para penjajah. semangat persatuan pada waktu itu sangat menonjol, bertekad
hidup atau mati tiada jalan lain untuk merebut kemerdekaan kecuali bersatu
padu.
Membangun Indonesia kali, tugas
kita seluruh anak negeri mengisinya dengan berbagai aktifitas konstruktif.
Kemerdekaan negeri ini bukan hasil penyerahan dari penjajah tanpa resiko,
negeri ini bukan pembagian kavling dan sejenisnya dan negeri ini bukan tunduk
di bawah kekuasaan negara lain dan sejatinya harus demikian nyatanya.
Wahai Pemuda, Indonesia akan
tetap jaya dan bangun, bersatu serta bangkitlah dengan tegak mengatakan: Kan
Kuberikan yang Terbaik untuk Kejayaan Negeriku, Indonesia.
Tepatlah jika, momen Sumpah
Pemuda 2020 kali ini mengambil tema: Bersatu dan Bangkit.**
Komentar
Posting Komentar