Angkuhmu, Corona-KU

Oleh Sholihin H. Z.* Umat manusia hari ini benar-benar dibuat terpana dengan kondisi saat ini, umat manusia saat ini benar-benar dibuat tidak berdaya, perekonomian ambruk, lalu lintas perdagangan terhenti, para pengambil kebijakan di masing-masing negara dihentakkan naluri kepemimpinannya unutk mengambil keputusan yang terbaik dan aspiratif, bahkan sekedar untuk komunikasi dengan tatap muka antara satu dengan lainnya sesama kita juga sudah diatur. Sebagai umat beragama, kita sedih dengan situasi seperti ini, kita saksikan masjid ada yang ditutup untuk tidak melaksanakan sholat Jumat dan lima waktu demi menjaga kenyamanan bersama, majlis ta’lim banyak yang off saat ini, tabligh akbar dan kegiatan hari besar Islam diingatkan untuk ditiadakan. Sesuatu yang tidak disangka saat kita memasuki tahun 2020, bahkan tidak kita duga pada akhir Februari yang lalu. Berbagai perspektif keilmuan dan keahlian memberikan komentarnya, meskipun sudah dinyatakan hanya lembaga tertentu yang berhak menshare informasi ini, tetapi ternyata ada di antaranya yang sengaja menebar kepanikan yang disengaja atau tidak sengaja, bukan menenangkan justru mendebarkan, bukan menyejukkan malah meresahkan. Dalam kondisi seperti ini bahkan dalam kondisi apapun, sikap pertama yang harus dikedepankan adalah bersikap tenang karena dengan bersikap tenang Insya Allah persoalan akan lebih jernih dan fokus mengambil keputusan. Kesimpangsiuran informasi ataupun informasi yang benar hendaknya diawali dengan pentingkah ini untuk dishare. Apakah akan menimbulkan efek negatif atau sebaliknya. Kebanyakan kata yang mengawalinya adalah “katanya, katanya”, inilah yang oleh Rasulullah SAW disebutkan bahwa satu diantara tabiat yang dibenci Allah adalah orang yang jika berbicara hanya denegan dasar, “katanya, katanya”. Ini menunjukkan media bisik berbisik, gosip dan menyebarkan berita yang tidak disertai dengan sumber yang jelas menjadi tabiat yang berbahaya san Allah benci dengan yang demikian. Dua kata yang ingin penulis angkat pada kesempatan ini, dua kata yang bertolak belakang, dua kata yang tidak saling mendukung. Bukan untuk menghakimi, setidaknya menjadi pengingat dan penggugah diri kita masing-masing untuk lebih bermuhasabah di akhir-akhir ini, terlebih lagi dalam situasi menyebarnya virus covid-19. 1. Takabur Dilihat dari bahasa, takabbur bermakna merasa besar/lebih tinggi /sombong atau membanggakan diri sendiri lebih dari orang lain. Satu kata yang terasa lebih dekat ditelinga kita tentang takabur adalah sombong. Orang yang sombong bermakna orang yang merasa lebih dari orang lain. Merasa lebih punya harta, orang kaya; merasa lebih punya ilmu, banyak titel pada namanya; merasa orang penting, karena jabatannya dan sebagainya. Prof. Dr. Quraisy Syihab –mufassir negeri ini-memberikan illustrasi tentang makhluk Allah yakni malaikat yang hanya bertanya tentang kehendak Allah untuk menciptakan khalifah. Menurut beliau ketika terjadi dialog antara Allah SWT dan malaikat bahwa Allah akan menciptakan khalifah di muka bumi, malaikat bertanya, “Wahai Tuhan kami, apakah hikmah yang terkandung dalam penciptaan manusia? padahal diantara manusia ada yang akan berbuat kerusakan di muka bumi dan menumpahkan darah? Pada kalimat ini, Allah SWT tidak merespon malaikat namun ketika disebutkan jika yang dimaksudkan agar Engkau disembah, maka kami selalu bertasbih memujimu dan mensucikanmu dengan ibadah. Dengan tegas Allah SWT meng-ultimatum bahwa “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui”. Seakan-akan Allah SWT mengajarkan janganlah kalian sombong dengan amal ibadah kalian. Malaikat merupakan makhluk Allah yang taat, namun ketika ada pertanyaan yang mulai memunculkan ke-aku-annya, Allah SWT segera memperingatkannya. Bagaimana dengan kondisi kita, betapa banyak orang, sekelompok orang, secara nasional, regional, bahkan di dunia internasional yang dengan sombongnya aku atau kami adalah bangsa yang kuat, yang tidak akan ada satupun yang mampu menumbangkan kami, kekuatan kami karena kami memiliki orang-orang pintar, persenjataan kami kuat, sistem politik kami sudah teruji dan tidak ada yang akan mampu mengalahkan kami. Fasilitas yang ada menyebabkan mereka angkuh, sombong, persis seperti Qarun yang keluar rumah dengan menunjukkan kekayaannya. Saat Qarun diperingatkan agar tidak angkuh, Qarun malah berujar bahwa harta yang dimilikinya adalah karena kecerdasannya. Allah SWT merekam peristiwa dalam al-Quran yang berbunyi: “Dia (Qarun) berkata, “Sesungguhnya aku diberi (harta itu), semata-mata karena ilmu yang ada padaku.” Tidakkah dia tahu, bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan orang-orang yang berdosa itu tidak perlu ditanya tentang dosa-dosa mereka.” (QS. al-Qashash/28: 78) Sebagai kata kunci dari kata pertama ini, mari kita simak hadits qudsi yang diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib ra.: Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman: “Kemuliaan adalah pakaianKU, dan sombong adalah selendangKU. Barang siapa yang mengambilnya dariKU, AKU azab dia”. (HR.Muslim). 2. Tawadhu Tawadhu adalah rendah hati. Sikap tawadhu menjadi sikap muslim yang seharusnya ada padanya. Sifat tawadhu merupakan kebalikan dari takabur. Jika dengan sikap takabur, ia ingin menunjukkan kepiawaiannya dan seakan hanya ia yang bisa dan lantas dengan sikapnya itu ia merendahkan orang lain, maka tawadhu adalah sikap tidak menonjolkan diri, ia meyakini bahwa ada yang lebih pintar darinya karenanya ia merasa tidak punya apa-apa, ada orang yang lebih hebat darinya karenanya ia pandai menempatkan diri, ada orang yang merasa lebih ilmunya karenanya ia bersikap rendah hati. Tawadhu adalah sifatnya para nabi, ulama dan salafush shaleh. Sebagai sifat yang diajarkan oleh para nabi, ia harus senantiasa dilatih karena untuk meraih sifat ini berbagai riyadhah (latihan) harus istiqamah dijalankan. Sehingga wajar kalau tawadhu adalah sifat dan sikap yang menunjukkan kualitas spiritual seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sedekah itu tidak akan mengurangi harta. Tidak ada orang yang memberi maaf kepada orang lain, melainkan Allah akan menambah kemuliaan untuknya. Dan tidak ada orang yang tawadhu’ (merendahkan diri) karena Allah, melainkan Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim no. 2588). Covid-19 sebagai wabah penyakit di era ini, kita perlu mengaitkan dan mengedepankan sikap tawadhu. Betapa banyak manusia yang jauh dari sikap ini dan dekat kepada takabur, sebagaimana telah diuraikan di atas. Merasakan rendah di hadapan Allah, tidak ada daya dan upaya selain memaksimalkan ikhtiar, mengoptimalkan permohonan doa dan munajat serta fatawakkal ‘alallaah adalah anjuran kebaikan yang kiranya tepat untuk saat ini. Allah SWT sangat sayang dengan hamba-Nya, sayangnya Allah kepada kita melebihi sayangnya seorang ibu kepada anaknya. Sebagaimana dapat kita fahami dari makna kata ar-rahman dan ar rahim dalam surat al-Fatihah. Kita berharap musibah ini sebagai teguran dari Allah untuk mengingatkan manusia agar tetap mengakui kelemahan dihadapan-Nya dan mudah-mudahan sebagai ujian untuk mengangkat derajat kita pada maqoomam mahmuudaa. Semoga Allah menyelamatkan kita hingga kita dapat menemui syahrul mubarak, Ramadhan dengan iman dan mengharap ridha Allah SWT. Semoga** Penulis: Guru MAN 2 Pontianak

Komentar

Postingan Populer