Bertanya Tidak Mesti Pertanda Ketidaktahuan Seseorang


Oleh  Sholihin H. Z.
(Penulis Buku: Ku Ingin Semua Pintu Surga Memanggilku)
  

Saat Nabi Muhammad SAW bersama para sahabatnya  dalam satu majlis, tiba-tiba datang seseorang yang tidak dikenal dan belum pernah dilihat oleh para sahabat. Sepertinya ia adalah orang asing dan berasal dari tempat yang jauh, karena tidak satupun yang kenal siapa orang ini.
Ketika orang asing ini masuk ia langsung duduk dihadapan Nabi SAW, sangat dekatnya duduk dengan Nabi hingga lutut orang ini bertemu dengan lutut Nabi SAW. Lantas orang ini bertanya, “Ya Muhammad, ajarkan kepadaku apa itu Islam?” Nabi SAW pun menyebutkan makna Islam, lanjut orang tersebut, “Ya Muhammad, ajarkan kepadaku  makna Iman? Nabi SAW dengan tenang menjawab pertanyaan orang tersebut dan, “Ya Muhammad, ajarkan kepada apa itu Ihsan?” Nabi SAW kemudian menjawab pertanyaan orang tersebut dengan jelas dan terang.
Setiap selesai dengan jawaban Nabi SAW, orang asing inipun membalas jawaban Nabi dengan “Engkau benar yang Muhammad”. Selesai mendengar jawaban Nabi SAW, orang asing inipun segera pamit dengan menyisakan pertanyaan di kalangan sahabat. Siapa orang ini? Mengapa dia juga yang bertanya dia juga yang membenarkan, lantas darimana ia berasal karena dikalangan kami tidak satupun yang kenal.
Kemudian Nabi SAW lanjut bertanya kepada para sahabat,”Wahai Sahabatku, tahukah kalian siapakah yang datang tadi?” Dijawab oleh para sahabat, “Hanya Allah dan Rasul-Nya yang tahu”. “Wahai sahabatku, ketahuilah, yang datang tadi adalah  malaikat Jibril, ia datang diutus oleh Allah SWT untuk memberikan pengetahuan tentang islam, iman dan ihsan.”
Pelajaran apa yang dapat diambil dari kisah ini?
1. Tiga pondasi dalam beragama harus menjadi perhatian kita semua yakni memahami secara benar apa itu Islam, meyakini secara benar apa itu Iman dan mendalami secara benar apa itu ihsan. Menurut Sayyid Bakri al Makki, dalam kitabnya Kifayatul Atqiya Wa Minhajul Ashfiya, “Ada tiga ilmu yang harus dipelajari dan hukumnya fardhu ‘ain yakni pertama, ilmu yang dapat mengantarkan kepada sahnya ibadah yaitu ilmu syariat atau ilmu fiqh, kedua, ilmu yang dapat mengantarkan kepada sah atau validnya berkeyakinan yaitu ilmu tauhid atau ilmu aqidah dan ketiga, ilmu yang dapat membersihkan atau mensucikan hati yaitu ilmu tasawuf.
2. Berkaitan dengan sumber ilmu, Rasulullah sebagai sumber hukum kedua ia menjadi tempat bertanya, Rasulullah juga yang memutuskan dengan wahyu Allah. Pelajaran yang dapat diambil adalah jika ingin mendapatkan ilmu harus dekat dengan sumber ilmu, dalam hal ini Rasulullah SAW dan semisal beliau (sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para ulama). Sederhananya harus berguru, ada mursyid dan sebagainya. Ini juga mengajarkan kepada kita bahwa Ilmu harus dikunjungi dan bukan mengunjungi, ilmu harus diburu untuk didapatkan dan bukan sebaliknya. Belajar kepada guru membentuk karakter untuk sopan, tawadhu dan memperhatikan etika di majlis ilmu.
3. Mungkinkah Jibril tidak tahu dan faham apa itu Islam, Iman dan Ihsan. Sesuatu yang tidak mungkin tentunya, bukankah Jibril yang menjadi perantara keilmuan antara Allah SWT dan Rasul-Nya. Adanya peristiwa di atas mengajarkan kepada kita bahwa orang yang bertanya dan siapapun itu tidak mesti menujukkan ketidaktahuannya, bisa saja ia dijadikan Allah sebagai media untuk bertanya yang pertanyaan itu mewakili orang-orang disekitarnya yang mungkin malu bertanya, tidak tahu apa yang harus ditanyakan. Disinilah pentingnya memahami etika saat dimajjlis ilmu, sehingga kata-kata yang keluar oleh si pendengar bukanlah,”itupun mau ditanyakan juga, sepele”, kata-kata inilah yang mungkin bagi yang faham terkesan sederhana tapi tahukah kita bahwa ada orang-orang yang ingin bertanya tentang hal serupa tapi sungkan untuk bertanya.
Jibril dengan segala kisahnya telah mengedukasi manusia berkaitan dengan menumbuhkan tenggang rasa pda orang lain yang mungkin kelimuannya di bawah kita.
Semoga Bermanfaat (Ruang Tengah BLOK G.30/311019)

Komentar

Postingan Populer